BENARKAH TUJUAN MEMBENARKAN SEGALA CARA
[ Pertanyaan Kesepuluh ]
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah
Penanya: Bagaimana kita
mendudukan dengan tepat serta mengompromikan bantahan ulama terhadap
kaedah “tujuan membenarkan segala cara” dengan fatwa sebagian ulama yang
membolehkan melakukan sebagian hal-hal yang diharamkan untuk maslahat,
seperti mengikuti keinginan manusia pada sebagian bid’ah, menghadiri
tempat-tempat yang diharamkan, dan mengurangi atau mencukur habis
jenggot dalam rangka dakwah, dan fatwa-fatwa lain yang semisalnya?
Asy-Syaikh:
Perkataan sebagian orang bahwa “tujuan
membenarkan segala cara” ini termasuk musibah yang menimpa sebagian
kelompok-kelompok yang berlabel Islam seperti Al-Ikhwan Al-Muslimun dan
selain mereka yang menggunakan kaedah ini pada hamba-hamba Allah. Mereka
menzhalimi hamba-hamba Allah dan berbuat jahat kepada mereka dengan
melanggar kehormatan, darah, serta hak-hak mereka dengan dalih “tujuan
membenarkan segala cara.” Bahkan dengan menggunakan kaedah ini mereka
merubah-rubah agama Allah seenaknya, dan ini merupakan kaedah yang
diambil dari orang-orang kafir.
Adapun Islam maka memperhatikan tujuan dan
juga memperhatikan sarana. Jika tujuan tersebut mulia dan sarananya
benar atau dibolehkan, maka Islam tidak mengingkarinya.
Adapun jika tujuannya mulia namun sarananya
mengandung kezhaliman atau pelanggaran terhadap hak orang lain, atau
mengandung perbuatan maksiat atau hal-hal yang tidak pantas dilakukan
atau terjatuh pada hal-hal yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla,
maka sesungguhnya tidak dijumpai seorang ulama pun yang membolehkan
sarana-sarana yang diharamkan ini untuk meraih tujuan yang dibenarkan
oleh syari’at.
Walhamdulillah tidak ada di dalam syari’at
Islam tujuan yang yang dibenarkan oleh syari’at namun sarananya haram,
kecuali yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim yaitu pada perkara nadzar,
karena nadzar ini sarananya makhruh dan tidak sampai pada tingkatan
diharamkan.
Adapun perkataan sebagaian ulama dan fatwa-fatwa mereka maka itu bukan karena “tujuan membenarkan segala cara” sebagaimana anggapan orang yang mengatakan dan menganalogikannya dengan qiyas yang rusak ini. Tetapi dalam rangka menempuh yang paling ringan kerusakan atau bahayanya, dan dalam perkara yang bisa jadi telah sampai pada tingkatan darurat, yaitu jika seseorang mengkhawatirkan dirinya akan tertimpa bahaya nyata maka boleh baginya untuk melakukan sebagian hal-hal yang diharamkan karena darurat. Perkara yang sifatnya darurat itu sendiri ditakar seperlunya ketika melakukan hal-hal yang diharamkan atau ketika membolehkan perkara yang darurat ini.
Adapun perkataan sebagaian ulama dan fatwa-fatwa mereka maka itu bukan karena “tujuan membenarkan segala cara” sebagaimana anggapan orang yang mengatakan dan menganalogikannya dengan qiyas yang rusak ini. Tetapi dalam rangka menempuh yang paling ringan kerusakan atau bahayanya, dan dalam perkara yang bisa jadi telah sampai pada tingkatan darurat, yaitu jika seseorang mengkhawatirkan dirinya akan tertimpa bahaya nyata maka boleh baginya untuk melakukan sebagian hal-hal yang diharamkan karena darurat. Perkara yang sifatnya darurat itu sendiri ditakar seperlunya ketika melakukan hal-hal yang diharamkan atau ketika membolehkan perkara yang darurat ini.
Sebagai contoh; memakan bangkai hukumnya
haram, tetapi seandainya seseorang khawatir dirinya akan mati (ketika
tidak mendapatkan makanan yang halal –pent) maka dia boleh memakan dari
bangkai tersebut. Demikian juga misalnya seseorang ada sesuatu yang
tersangkut di tenggorokannya, sementara yang ada di dekatnya hanya
khamer, maka dia boleh meminum khamer tersebut sekedar untuk bisa
menghilangkan sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya itu. Jadi di
sini sifatnya darurat, bukan karena “tujuan membenarkan segala cara.”
Wallahu a’lam.
Sumber artikel: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=108091
Alih bahasa: Abu Almass
Jum’at, 3 Rajab 1435 H
Jum’at, 3 Rajab 1435 H
Sumber : www.forumsalafy.net
0 komentar:
Posting Komentar
Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wasallam bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.”
(HR. al-Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 48)
Jangan Memberikan Komentar Jika Foto Anda Menggunakan Gambar Makhluk Atau Komentar Anda Mengandung Unsur Smiley !