(ARTIKEL) FIKIH PUASA LENGKAP KARYA SYAIKH ABDURRAHMAN BIN NASHIR AS SA'DY PENSYARAH AL USTADZ ABU ABDILLAH MUHAMMAD AS-SARBINI AL MAKASSARI HAFIZHAHULLAH

Bab 1: Pendahuluan

Al-Imam as-Sa'di berkata, "Dalil diwajibkan ibadah puasa adalah firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian..." (Al-Baqarah: 183)

Definisi Puasa


Ulama menerangkan bahawa kata ash-shiyam (الصِّيَامُ) atau ash-shaum (الصَّومُ) secara makna bahasa merupakan mashdar dari kata shama (صَامَ) dan yashumu (يَصُوْمُ) yang bermakna al-imsak (اْلإمْسَاكُ), ertinya menahan. Jadi secara bahasa, puasa ertinya menahan.

Definisi secara istilah syariat adalah, "Puasa adalah peribadatan kepada Allah dengan cara menahan diri dari makan, minum dan pembatal-pembatal puasa lainnya mulai terbit fajar hingga terbenam matahari." (Asy-Syarh al-Mumti' 6/310, karya Al-Imam Ibnu Utsaimin)


Hukum & Kedudukan Puasa Ramadhan Dalam Islam

Berpuasa Ramadhan hukumnya fardhu 'ain, artinya wajib bagi setiap hamba Allah yang memenuhi pensyaratan wajibnya puasa Ramadhan. Antara dalilnya:

"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah: 183)

"Islam didirikan di atas lima dasar; persaksian tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan solat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji, dan berpuasa Ramadhan." (Muttafaq 'alaih)

Bab 2: Syarat-Syarat Wajibnya Berpuasa Ramadhan


Al-Imam as-Sa'di berkata, "Berpuasa Ramadhan wajib atas setiap muslim, yang telah baligh, berakal dan mampu untuk berpuasa..."

Syarat Ke-1: Muslim

Syarat utama diwajibkannya berpuasa Ramadhan atas seseorang adalah berstatus muslim. Seorang yang kafir tidak diwajibkan berpuasa dan tidak sah melakukannya.

"Tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima infak-infak mereka selain kerana mereka kafir kepada Allah dan RasulNya. Tidaklah mereka mengerjakan solat melainkan dalam keadaan malas dan tidak (pula) mereka menginfakkan (harta mereka) melainkan dengan rasa enggan." (At-Taubah: 54)

Syarat Ke-2: Baligh

Syarat kedua diwajibkannya berpuasa Ramadhan atas seseorang adalah berusia baligh. Tidak ada ketentuan pembebanan syariat terhadap anak kecil yang belum baligh.

Dari Aisyah, Rasulullah bersabda, "Pena (pencatat amalan) diangkat dari tiga golongan; dari orang yang tidur hingga dia terbangun, dari anak kecil hingga dia dewasa (baligh), dari orang gila hingga dia berakal (sedar)." (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa'i, Ibnu Majah, dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim & al-Albani)

Usia baligh pada seseorang anak boleh diketahui dengan melihat salah satu dari tanda-tanda berikut:
1: Berusia genap lima belas tahun (menurut hitungan tahun Hijriah).
2: Tumbuh rambut di sekitar kemaluan (meskipun usianya belum genap lima belas tahun).
3: Keluar air mani kerana syahwat (meskipun usianya belum lima belas tahun), baik keluar kerana mimpi basah mahupun dalam keadaan terjaga.
4: Mengalami haidh (meskipun belum berusia lima belas tahun), dan tanda ini khusus pada anak perempuan.
(Asy-Syarh al-Mumti' 6/333, al-Imam Ibnu Utsaimin)

Syarat Ke-3: Berakal

Syarat ketiga diwajibkannya berpuasa Ramadhan atas seseorang adalah berakal. Tidak ada ketentuan pembebanan syariat terhadap orang yang tidak berakal. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah di atas.

Syarat Ke-4: Mampu

Syarat keempat diwajibkannya berpuasa Ramadhan atas seseorang adalah memiliki kemampuan. Tidak ada ketentuan pembebanan syariat terhadap orang yang tidak mampu.

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya." (Al-Baqarah: 286)

Al-Imam Ibnu Utsaimin menerangkan dalam kitab asy-Syarh al-Mumti' bahawa ketidakmampuan seseorang yang menjadi uzur baginya untuk tidak berpuasa, terbahagi menjadi dua jenis:

1: Jenis ketidakmampuan yang bersifat tidak tetap kerana sakit yang masih berkemungkinan sembuh. Jenis ini mendapat rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa selama uzur dan berkewajipan menggantinya dengan qadha puasa di luar Ramadhan.

2: Ketidakmampuan yang bersifat tetap kerana usia lanjut atau sakit yang tidak berkemungkinan sembuh. Jenis ini mendapat rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa dan berkewajipan menggantinya dengan membayar fidyah (memberi makan fakir miskin).

Syarat Ke-5: Mukim

Syarat kelima diwajibkannya berpuasa Ramadhan atas seseorang adalah bermukim (tinggal menetap). Ini adalah syarat tambahan atas empat syarat yang disebutkan al-Imam as-Sa'di. Seseorang yang melakukan safar di bulan Ramadhan mendapat rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa, tetapi wajib atasnya untuk menggantinya dengan melakukan qadha puasa di luar Ramadhan.

Syarat Ke-6: Tidak Ada Penghalang

Syarat keenam diwajibkannya berpuasa Ramadhan atas seseorang adalah terbebas dari haidh dan nifas yang menghalangi untuk berpuasa. Syarat ini juga merupakan syarat tambahan atas empat syarat yang disebutkan al-Imam as-Sa'di. Kedua-dua syarat tambahan ini disampaikan oleh al-Imam Ibnu Utsaimin dalam kitab asy-Syarh al-Mumti' (6/335 & 340).

Bab 3: Ketentuan Memasuki Ramadhan

Al-Imam as-Sa'di berkata, "(Berpuasa Ramadhan wajib dilaksanakan) dengan berdasarkan (pada salah satu dari dua hal); adanya ru'yah hilal Ramadhan (melihat tanda awal bulan Ramadhan) atau dengan penyempurnaan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Rasulullah telah bersabda "Berpuasalah kalian ketika melihat hilal Ramadhan dan berbukalah kalian (mengakhiri Ramadhan) ketika melihat hilal Syawal. Namun jika hilal tertutup (tidak jelas) atas kalian, tentukanlah untuknya." (Muttafaq 'alaih)

Pada lafaz lain disebutkan, "Tentukanlah untuknya tiga puluh hari."
Pada lafaz lain disebutkan, "Sempurnakanlah jumlah Sya'ban menjadi tiga puluh hari." (HR Bukhari)
Pelaksanaan puasa Ramadhan boleh dengan dasar persaksian ru'yah hilal dari seorang yang 'adl, sedangkan untuk bulan-bulan lainnya tidak diterima persaksian ru'yah hilalnya selain dari dua orang yang 'adl."

Ru'yah Hilal Ramadhan

Yang dimaksud dengan hilal adalah rembulan di fasa awal yang menandai masuknya bulan Ramadhan atau bulan lainnya. Sebab utama kewajipan berpuasa Ramadhan adalah adanya ru'yah hilal Ramadhan. Dalilnya adalah hadits-hadits yang telah disampaikan al-Imam as-Sa'di.

Penyempurnaan Sya'ban Tiga Puluh Hari

Jika hilal tidak terlihat, bulan Sya'ban wajib disempurnakan menjadi tiga puluh hari. Inilah sebab kedua yang menentukan kewajipan berpuasa Ramadhan. Bulan yang didasarkan perhitungan hilal tidak mungkin lebih dari 30 hari dan tidak mungkin kurang dari 29 hari. Dalilnya:

"Sesungguhnya kita adalah umat yang tidak mengenal tulis menulis dan hitung menghitung. Satu bulan sejumlah ini dan sejumlah itu." Maksudnya terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. (Mutatafaq 'alaih)

"...Berpuasalah kalian kerana terlihatnya hilal Ramadhan dan berbukalah (mengakhiri Ramadhan) kerana terlihatnya hilal Syawal. Jika hilal tertutup (tidak jelas) atas kalian, tentukanlah untuknya tiga puluh hari." (HR Muslim)

Umat ini tidak bersandar pada ilmu hisab dalam hal perhitungan bulan. Jadi, jika hilal benar-benar tidak terlihat di petang hari setelah berakhirnya hari ke-29 Sya'ban, ditempuhlah penyempurnaan jumlah Sya'ban menjadi tiga puluh hari.

Berita Ru'yah Hilal Dari Orang Yang 'Adl

Al-'Adl secara bahasa bermakna sesuatu yang lurus. Menurut istilah syariat, ertinya orang yang melaksanakan kewajipan-kewajipan, tidak melakukan dosa besar, dan tidak terus menerus mengerjakan dosa kecil. Dengan ungkapan lain, ia adalah orang yang selamat (bersih) dari berbagai sebab kefasikan. Jadi, orang yang 'adl adalah orang yang istiqamah agamanya dan tidak fasik. (Asy-Syarh al-Mumti' 6/323-325, al-Imam Ibnu Utsaimin)

Penentuan mulainya puasa Ramadhan harus berdasarkan kepada persaksian ru'yah hilal dari seorang muslim yang 'adl dan kuat penglihatannya. Orang kafir tidak memiliki sifat ini, sehingga persaksiannya tidak diterima. Demikian pula, seorang muslim yang tidak memiliki sifat 'adl kerana dia fasik, persaksiannya tidak diterima.

Al-Imam asy-Syafi'i dan al-Imam Ahmad serta jumhur (majoriti) ulama berpendapat cukup persaksian satu orang muslim yang 'adl untuk ru'yah hilal Ramadhan, sedangkan untuk ru'yah hilal bulan-bulan selain Ramadhan dipersyaratkan dua orang muslim yang 'adl.

"Orang-orang berusaha melihat hilal. Aku (Ibnu Umar) kemudian memberitakan kepada Rasulullah bahawa aku melihatnya, lantas baginda menetapkan untuk berpuasa esoknya dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa." (HR Abu Dawud, dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Albani)

"Rasulullah menetapkan perintah kepada kami agar kami beribadah berdasarkan hilal yang terlihat. Namun, jika kami tidak melihatnya dan terdapat dua saksi yang 'adl yang menyaksikan hilal, kami pun beribadah berdasarkan persaksian keduanya." (HR Abu Dawud dan ad-Daraquthni, dishahihkan oleh ad-Daraquthni dan al-Albani)

Bab 4: Ketentuan Niat Berpuasa

Al-Imam as-Sa'di berkata, "Wajib menetapkan niat di malam harinya (sebelum waktu subuh) untuk pelaksanaan puasa wajib. Adapun untuk puasa sunnah, diperbolehkan berniat di siang harinya."

Niat Adalah Amalan Kalbu (Hati)

Niat adalah amalan kalbu. Oleh kerana itu, yang benar tidak diperintahkan melafazkan niat dengan lisan pada ibadah apa pun. Ketahuilah, suatu perkara yang dianggap agama padahal tidak pernah diajarkan oleh Nabi, bererti ianya perkara baru dalam agama.

Ketentuan Niat Puasa Wajib

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum tabyit an-niyyah (penetapan niat), di malam hari sebelum tiba waktu subuh untuk pelaksanaan puasa wajib. Namun yang tepat adalah seseorang yang akan berpuasa wajib haruslah menetapkan niat puasanya itu di malam hari (sebelum tiba waktu subuh). Penetapan niat di malam hari itu hukumnya wajib dan termasuk syarat sahnya pelaksanaan puasa wajib. Berdasarkan dalil berikut:

Amalan-amalan itu hanyalah (dilakukan) dengan niat, dan setiap orang hanyalah mendapatkan ganjaran dari apa yang diniatkannya." (Muttafaq 'alaih)

Barang siapa tidak membulatkan tekad untuk berpuasa sebelum tiba waktu fajar (Subuh), tidak sah puasanya." (HR Ahmad, Abu Dawud dan lainnya)

Berbeda halnya tentang puasa sunnah. Ianya boleh diniatkan selepas waktu fajar, berdasarkan dalil ini:

Dari Aisyah, "Suatu hari Nabi pernah masuk menemuiku pada suatu hari, lalu bertanya, 'Apakah kalian memiliki sesuatu (makanan)?' Kami menjawab, 'Tidak'. Baginda berkata, 'Jika begitu, sungguh sekarang aku berpuasa'." (HR Muslim)

Niat Sekali Untuk Puasa Sebulan Ramadhan

Ada perbezaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:

1: Puasa yang dijalan berturut-turut seperti Ramadhan, satu kali niat untuk berpuasa sebulan Ramadhan cukup untuk mewakili seluruh pelaksanaan puasanya, tanpa perlu berniat setiap harinya. Akan tetapi, jika ia sempat memutus puasa di antara hari-hari Ramadhan kerana uzur atau safar, ketika hendak memulai berpuasa kembali ia harus memperbaharui niat untuk sisa hari-harinya hingga akhir Ramadhan.

2: Puasa Ramadhan diwajibkan memperbaharui niat puasa setiap hari. Alasannya, puasa di hari-hari Ramadhan adalah ibadah-ibadah yang berdiri sendiri dan tidak ada keterkaitan antara satu puasa dengan lainnya. Sebagai bukti, jika puasa di hari itu batal, hal itu tidak mempengaruhi keabsahan puasa di hari sebelumnya. Pendapat ini dianggap rajih (kuat) oleh al-Imam asy-Syaukani dan difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai al-Imam Ibnu Baz. Pendapat ini yang lebih berhati-hati dalam masalah ini. (Asy-Syarh al-Mumti', 6/369-370)

 Bab 5: Ketentuan Puasa Bagi Orang Sakit & Musafir

Al-Imam as-Sa'di berkata, "Orang sakit yang terkena mudharat kerana berpuasa dan musafir, keduanya memiliki pilihan untuk berbuka (tidak berpuasa) atau tetap berpuasa."

Ketentuan Puasa Bagi Orang Sakit

Dalil bolehnya orang sakit untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah firman Allah:

"Maka dari itu, barang siapa di antara kalian sedang sakit atau dalam safar, (lalu ia berbuka) diwajibkan baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 184)

Al-Imam as-Sa'di menyatakan kriteria sakit yang menjadi uzur untuk mendapat keringanan tidak berpuasa adalah apabila orang sakit tersebut akan mendapat mudharat jika berpuasa. Mudharat itu adalah sakitnya semakin parah atau memperlambat kesembuhannya. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad, al-Imam Malik, dan selaras dengan pendapat ulama ahli fikih di kalangan mazhab Syafi'i.

Namun, Fatwa al-Lajnah ad-Da'imah (10/180) yang diketuai al-Imam Ibnu Baz, membolehkan berbuka apabila puasa itu berat bagi orang sakit itu, meskipun tidak menimbulkan mudharat terhadap keadaan sakitnya. 

Al-Imam Ibnu Utsaimin merincikan pendapat beliau dalam asy-Syarh al-Mumti, 6/352-353. Ini merupakan pendapat yang terkuat dan terbaik dalam masalah ini:

1: Jika berpuasa itu memberi pengaruh kurang enak pada dirinya, tetapi tidak sampai memberatkannya. Pada keadaan ini, berbuka adalah sunnah baginya, sedangkan berpuasa dibolehkan baginya (tidak makruh).

2: Jika berpuasa terasa memberatkan dirinya, tetapi tidak sampai memberi mudharat. Pada keadaan ini, berbuka adalah sunnah baginya dan makruh untuk berpuasa.

3: Jika berpuasa memberi mudharat terhadapnya, seperti penderita sakit ginjal, sakit gula (diabetis) dan semacamnya. Pada keadaan ini, wajib atasnya untuk berbuka dan haram untuk berpuasa.

Ketentuan Puasa Bagi Musafir

Dalil bolehnya musafir untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah firman Allah:

"Maka dari itu, barang siapa di antara kalian sedang sakit atau dalam safar, (lalu ia berbuka) diwajibkan baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 184)

"Sesungguhnya Allah telah meringankan dari seorang musafir setengah dari solatnya, serta meringankan pula kewajipan puasa dari seorang musafir, wanita menyusui dan wanita hamil." (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah. Dishahihkan al-Albani dan dihasankan al-Wadi'i)

Para musafir memiliki beberapa keadaan yang masing-masingnya memiliki hukum tersendiri:

1: Berpuasa atau berbuka sama saja bagi musafir itu.

Ada 3 pendapat dalam masalah ini:

Pendapat pertama menyatakan bahawa yang afdhal baginya adalah berpuasa. Ini pendapat al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam Syafi'i. Ini dipilih oleh Ibnu Hajar dan al-Imam Ibnu Utsaimin. Dalilnya:

"Kami pernah melakukan safar bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan dalam keadaan cuaca sangat panas, sehingga salah seorang di antara kami benar-benar meletakkan tangannya di atas kepalanya kerana cuaca yang sangat panas. Tidak seorang pun di antara kami berpuasa kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah." (Muttafaq 'alaih)

Pendapat kedua menyatakan bahawa yang afdhal baginya adalah berbuka. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad dan Ishaq Rahawaih. Dan dipilih oleh al-Imam Ibnu Taimiyah, al-Imam Ibnu Baz dan al-Lajnah ad-Da'imah. Dalilnya:

"Wahai Rasulullah, saya merasa diri saya memiliki kekuatan untuk berpuasa dalam safar. Apakah saya terkena dosa (kerana berpuasa)?" Rasulullah menjawab, "Berbuka adalah keringanan dari Allah. Maka dari itu, barang siapa mengambil keringanan itu, hal itu adalah baik, dan barang siapa memilih untuk tetap berpuasa, tidak ada dosa atasnya." (HR Muslim)

Pendapat ketiga menyatakan bahawa yang lebih utama baginya adalah mana yang paling mudah baginya antara berpuasa atau berbuka ditinjau dari segi susah atau tidaknya untuk melakukan qadha. Jika lebih mudah untuk berpuasa dan susah untuk melakukan qadha, yang afdhal baginya adalah berpuasa. Jika melakukan qadha di luar Ramadhan lebih mudah baginya, yang utama adalah melakukan qadha. Ini adalah pendapat Mujahid, Umar Abdul Aziz, Qatadah. Ini dipilih oleh Ibnul Mundzir dan al-Imam al-Albani. Dalilnya:

"Wahai Rasulullah, sungguh saya adalah seorang yang selalu berpuasa. Apakah saya boleh berpuasa ketika safar?" Rasulullah menjawab, "Silakan berpuasa jika engkau mahu, dan silakan berbuka jika engkau mahu." (HR Bukhari dan Muslim)

2: Berbuka lebih ringan bagi musafir.

Al-Imam Ibnu Utsaimin menyatakan bahawa keadaan seperti safar, berbuka lebih utama bagi musafir. Melakukan hal yang memberatkan diri padahal terdapat keringanan dari Allah, menunjukkan adanya sikap berpaling dari keringanan yang Allah berikan. Dalilnya:

"Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambil keringanan-keringananNya sebagaimana Allah tidak suka untuk dimaksiati." (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban pada kitab ash-Shahih dari keduanya)

3: Berpuasa sangat memberatkan musafir itu sehingga ia tidak mampu lagi untuk menanggungnya, atau bahkan memudharatkannya.

Berpuasa dalam keadaan seperti ini haram dan wajib untuk berbuka. Ini adalah pendapat al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Imam al-Albani. Dalilnya:

"Rasulullah pernah dalam safarnya melihat seseorang dikerumuni orang banyak dalam keadaan dinaungkan di bawah pohon (dari panas matahari). Lalu baginda bertanya, "Ada apa ini?" Mereka menjawab, "Orang ini berpuasa." Baginda bersabda, "Bukan merupakan kebaikkan berpuasa dalam safar"." (Muttafaq 'alaih)

Bab 6: Ketentuan Puasa Bagi Wanita Dalam Keadaan-Keadaan Khusus


Al-Imam as-Sa'di berkata, "Wanita haidh dan wanita nifas diharamkan berpuasa dan berkewajipan melakukan qadha puasa. Adapun wanita hamil dan wanita menyusui, jika keduanya mengkhawatirkan keadaan janin dan bayinya, diperbolehkan berbuka (tidak berpuasa) serta berkewajipan melakukan qadha puasa dan memberi makanan (fidyah) kepada seorang fakir miskin untuk setiap puasa (yang ditinggalkannya)."

Ketentuan Puasa Bagi Wanita Haidh & Wanita Nifas

Wanita yang sedang haidh atau nifas diharamkan berpuasa. Dalilnya:

Aisyah berkata, "Kami pernah mengalami haidh di masa hidup Rasulullah, lalu kami kembali suci. Baginda memerintahkan kami untuk melakukan qadha puasa dan tidak memerintahkan kami untuk melakukan qadha solat." (Muttafaq 'alaih)

Ketentuan Puasa Bagi Wanita Hamil & Menyusui

Wanita hamil dan menyusui diperbolehkan berbuka, jika ia mengkhawatirkan keadaan dirinya, janin/bayinya, atau keduanya.

Ada beberapa pendapat ulama dalam kaedah membayar semula hutang puasa bagi wanita hamil dan menyusui ini:

1: Diwajibkan melakukan qadha puasa dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat mazhab al-Imam Ahmad dan disebutkan oleh al-Imam as-Sa'di. Akan tetapi pendapat ini lemah, kerana tidak ada dalil yang mewajibkan pembayaran fidyah bersama kewajipan qadha puasa.

2: Diwajibkan hanya membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, serta dipilih oleh al-Imam al-Albani. 

Ibnu Abbas berkata, "Wanita hamil atau menyusui jika keduanya khawatir (akan dirinya, bayinya atau kedua-duanya), keduanya diperbolehkan berbuka dan (diwajibkan) memberi makan (fakir miskin)." (HR al-Baihaqi, al-Albani menyatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat al-Bukhari & Muslim)

Namun, pendapat ini terdapat kelemahan jika ditinjau dari segi makna. Sebab, secara makna pendapat ini telah menyamakan keadaan wanita hamil atau menyusui yang suatu ketika akan kembali sihat dan kuat untuk melakukan qadha puasa, dengan keadaan orang yang tidak mampu lagi berpuasa selamanya kerana lanjut usia sehingga berkewajipan menggantinya dengan pembayaran fidyah. Penyamaan ini tidak benar, kerana perbezaan antara kedua keadaan tersebut sangatlah jelas.

3: Diwajibkan hanya melakukan qadha puasa. Alasannya, wanita hamil dan menyusui keadaannya seperti orang sakit dan musafir yang terkadang merasa berat untuk berpuasa. Ini adalah pendapat Ibrahim an-Nakha'i, al-Hassan al-Bashri, Atha' bin Abi Rabah dan al-Imam Abu Hanifah. Pendapat inilah dipilih oleh al-Imam Ibnu Baz bersama al-Lajnah ad-Da'imah, al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Imam Muqbil al-Wadi'i. Dan pendapat ini yang benar insyaAllah. Ianya bertepatan dengan hadits Nabi:

"Sesungguhnya Allah telah meringankan dari seorang musafir setengah dari solatnya, serta meringankan pula kewajipan puasa dari seorang musafir, wanita menyusui dan wanita hamil." (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah. Dishahihkan al-Albani dan dihasankan al-Wadi'i)

Bab 7: Ketentuan Bagi Orang Yang Tidak Mampu Lagi Berpuasa

Al-Imam as-Sa'di berkata, "Seorang yang tidak mampu lagi berpuasa kerana lanjut usia atau kerana penyakit yang tidak ada harapan sembuh, berkewajipan memberi makan seorang fakir miskin untuk setiap hari puasa (yang ditinggalkannya)."

Hukum Orang Yang Tidak Mampu Lagi Berpuasa

Orang yang tidak mampu lagi berpuasa ada dua golongan:

1: Orang tua lanjut usia yang tidak mampu sama sekali berpuasa, atau merasakan beban yang sangat berat ketika berpuasa. Lanjut usia yang dimaksud di sini adalah yang belum mengalami kepikunan (nyanyok). Adapun yang telah nyanyok, sudah bukan mukallaf lagi.

2: Penderita penyakit yang tidak ada harapan sembuh. Al-Imam Ibnu Utsaimin menerangkan bahawa hal ini berdasarkan diagnosis ahli medik yang terpercaya di bidangnya, atau berdasarkan keumuman yang terjadi bahawa penderita penyakit seperti itu biasanya tidak dapat sembuh.

Ulama berbeza pandangan dalam menetapkan hukum bagi orang yang tidak mampu lagi berpuasa kerana lanjut usia atau kerana sakit yang tidak ada harapan sembuh:

1: Sebahagian ulama berpendapat bahawa orang tersebut tidak diwajibkan berpuasa, tetapi diwajibkan membayar fidyah, sebagai ganti setiap hari puasa yang ditinggalkan. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah:

"Bagi orang-orang yang mampu menjalankan puasa (terdapat pilihan) untuk membayar fidyah berupa memberi makan seorang fakir miskin." (Al-Baqarah: 184)

Ibnu Abbas berkata, "Ayat ini tidak dihapus (hukumnya). Yang dimaksud adalah lelaki dan wanita lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk berpuasa, hendaklah keduanya memberi makan seorang fakir miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan." (HR Bukhari)

Begitu juga hukumnya bagi orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, kerana kesamaan makna yang ada pada keduanya. Hal ini telah difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai al-Imam Ibnu Baz. Juga fatwa al-Imam al-Albani, Ibnu Utsaimin dan al-Wadi'i. Ini pendapat yang benar.

2: Sebahagian lainnya berpendapat bahawa orang yang tidak mampu lagi berpuasa, tidak diwajibkan melakukan qadha puasa dan tidak diwajibkan pula membayar fidyah, kerana ayat tersebut telah mansukh (dihapus) secara mutlak. Ini adalah pendapat al-Imam Malik, Abu Tsaur dan Dawud azh-Zhahiri. Namun pendapat ini lemah.

Ketentuan Fidyah

Fidyah yang diberikan kepada fakir miskin (dari kalangan muslim) adalah setiap jenis makanan yang biasa diberikan seseorang kepada keluarganya di antara makanan-makanan ruji (pokok) negeri setempat, baik berupa gandum, burr, gandum sya'ir, beras, mahupun lainnya.

Ulama berbeza pandangan dalam ukuran fidyah yang wajib diberikan:

1: Jumhur (majoriti) ulama berpendapat bahawa kadar fidyah adalah satu mudd dari jenis makanan ruji apa saja.

2: Sebahagian ulama lainnya berpendapat bahawa kadar fidyah adalah setengah sha' dari jenis makanan ruji apa saja, berdasarkan penyamaan hukum dengan fidyah al-Adza pada ibadah haji secara qiyas. Pendapat ini difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai al-Imam Ibnu Baz.

Satu sha' senilai dengan empat mudd. Jadi fidyah dengan setengah sha' senilai dengan dua mudd. Menurut al-Lajnah Da'imah, satu sha' dalam ukuran timbang, kurang lebih 3kg. Manakala menurut al-Imam Ibnu Utsaimin kurang lebih 2.10kg beras atau 2.04kg gandum burr.

Fidyah al-Adza adalah yang disebutkan dalam hadits Ka'ab bin Ujrah tatkala ia menunaikan haji dan terganggu oleh kutu di kepalanya. Rasulullah memerintahkan untuk mencukur rambut kepalanya dengan memberi tiga pilihan sebagai tebusannya. Di antaranya baginda mengatakan:

"Atau engkau memberi makanan kepada enam orang fakir miskin, untuk setiap orang setengah sha'." (Muttafaq 'alaih)

3: Ada pula berpendapat tidak ada ketentuan kadar tertentu dalam pembayaran fidyah. Dengan dalil bahawa Allah memerintahkan pembayaran fidyah secara mutlak tanpa membatasinya dengan kadar tertentu. Maka dari itu, sah dibayarkan dengan kadar yang dianggap cukup dalam pemberian makanan menurut tuntutan kebiasaan masyarakat. Pendapat ini yang rajih (terkuat) sebagaimana dinyatakan al-Imam Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarh al-Mumti (6/349-350). Ini berdasarkan perbuatan sahabat, Anas bin Malik yang telah lanjut usia, beliau mengumpulkan tiga puluh orang fakir miskin dan memberi mereka roti dan lauknya.

"Anas telah membahagikan makanan fidyah setelah ia lanjut usia dalam setahun atau dua tahun, kepada seorang fakir miskin untuk setiap harinya berupa roti dan daging. Ia pun berbuka (tidak mampu berpuasa)." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu'allaq dalam Kitab ash-Shahih dalam Kitab Tafsir Al-Qur'an, Bab Qauluhu Ta'ala: أَيَّامًامَّعْدُودَتٍ)

Pembayaran fidyah dalam bentuk wang kepada fakir miskin tidak sah, kerana yang diwajibkan oleh Allah adalah al-Ith'am (pemberian makanan) dan Dia menamainya al-Ith'am. Maka dari itu, wajib menunaikannya sesuai dengan yang telah diwajibkan dan dinamakan oleh Nya. Hal ini ditegaskan oleh al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai Ibnu Baz. (Majmu' ar-Rasa'il 19/116-117 dan Fatawa al-Lajnah 10/163-164, 23/7)


Bab 8: Pembatal-Pembatal Puasa

Al-Imam as-Sa'di berkata, "Barangsiapa berbuka (batal puasa) dengan makan, minum, muntah secara sengaja, berbekam, atau mengeluarkan mani kerana memeluk isteri, kewajipannya hanyalah melakukan qadha puasa (tanpa kafarat). Akan tetapi orang yang berbuka dengan jima' wajib melakukan qadha puasa dan membebaskan budak (hamba) (sebagai kafarat). Jika tidak mendapatkan hamba, ia wajib (menebusnya) dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika ia tidak mampu, maka ia wajib (menebusnya) dengan memberi makan enam puluh orang fakir miskin. Nabi bersabda, "Barangsiapa lupa selagi ia berpuasa, lalu ia makan dan minum, hendaklah ia menyempurnakan (melanjutkan) puasanya, kerana sesungguhnya Allah semata-mata memberi makan dan minum kepadanya (tanpa membatalkan puasa)" (Muttafaq 'alaih)."

Ketentuan Batalnya Puasa Bagi Pelaku Pembatal-Pembatal Puasa

Puasa batal dengan salah satu dari pembatal-pembatal puasa dengan syarat-syarat berikut:

1: Melakukannya dengan sengaja.

"Tidak ada dosa bagi kalian atas apa yang kalian tersalah padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disegaja oleh kalbu (hati) kalian..." (Al-Ahzab: 5)

2: Melakukannya dengan sedar (ingat atau tidak lupa).

"Barangsiapa lupa (tidak sedar) selagi ia berpuasa, lalu ia makan atau minum, hendaklah menyempurnakan (melanjutkan) puasanya..." (Muttafaq 'alaih)

3: Melakukannya dengan mengetahui (mempunyai ilmu) hukum perkara itu sebagai pembatal puasa dan mengetahui keadaan.

Asma' bintu Abi Bakr berkata, "Kami pernah berbuka pada masa hidup Nabi di hari yang mendung, kemudian matahari kembali muncul." (HR Bukhari)

Tidak dinukilan bahawa Nabi menyatakan puasa mereka batal. Hal itu disebabkan ketidaktahuan mereka akan keadaan matahari yang belum terbenam kerana terhalang mendung.

Jenis-Jenis Pembatal Puasa

Ada beberapa jenis pembatal puasa, sebahagiannya disepakati dan sebahagiannya diperselisihkan. Pembatal-pembatal puasa yang disepakati oleh para ulama adalah makan, minum dan berhubungan suami isteri (jima').

"Maka dari itu, sekarang campurilah mereka (isteri-isteri kalian) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, serta makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih (terangnya siang) dan benang hitam (gelapnya malam), iaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (Al-Baqarah: 187)

Rincian Pembatal Puasa Dari Jenis Makan & Minum

1: Menelan sisa-sisa makanan di mulut ketika puasa. 

Ibnu Mundzir mengatakan ijma' ulama bahawa sisa makanan di mulut yang kadarnya sedikit sehingga sulit untuk dikeluarkan dan sulit dihindari agar tidak tertelan, tidak membatalkan puasa jika tertelan.
Jumhur ulama berpendapat bahawa sisa makanan di mulut yang kadarnya banyak dan masih dapat dihindari agar tidak tertelan dengan cara meludahkannya, wajib diludahkan. Jika sengaja menelannya, hal itu membatalkan puasa. (Al-Mughni 4/360)

2: Menelan rasa makanan yang tersisa di mulut ketika puasa.

Al-Imam Ibnu Utsaimin menyatakan bahawa rasa makanan yang tersisa di mulut wajib diludahkan dan tidak boleh ditelan. (Asy-Syarh al-Mumti' 6/428)

3: Menelan rasa yang tersisa setelah bersiwak atau memberus gigi dengan ubat gigi ketika puasa.

Al-Imam Ibnu Utsaimin berpendapat ianya wajib diludahkan, dan boleh membatalkan puasa jika ditelan dengan sengaja. (Majmu' ar-Rasa'il 19/352-354)

4: Menelan darah (yang bersumber dari rongga mulut atau hidung) ketika puasa.

Al-Imam Ibnu Qudamah dan Ibnu Utsaimin menegaskan supaya dikeluarkan dan tidak boleh menelannya. Jika dia menelannya, puasanya batal. (Al-Mughni 4/355 & Asy-Syarh al-Mumti' 6/429)

5: Menelan dahak (kahak) ketika puasa.

Jika kahak turun ke kerongkongan tanpa melewati mulut dan tertelan, hal ini tidak membatalkan puasa meskipun terasa ketika tertelan, sebab kahak tersebut tidak sempat masuk ke rongga mulut.

Jika kahak tersebut mengalir turun dan masuk ke rongga mulut orang yang berpuasa, pendapat yang benar adalah tidak boleh ditelan dan harus diludahkan, jika ditelan membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Asy-Syafi'i dan salah satu riwayat dari Ahmad.

6: Menelan sesuatu yang masuk melalui hidung.

Menelan sesuatu yang masuk melalui hidung membatalkan puasa, kerana hidung merupakan salah satu saluran masuk ke kerongkongan menuju perut, yang dianggap memiliki kedudukan yang sama dengan mulut.

"Dan bersungguh-sungguhlah (berlebihanlah) engkau dalam istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung ketika wudhu), kecuali engkau dalam keadaan berpuasa." (HR Ahmad, Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani dan al-Wadi'i)

Hadits ini menunjukkan perbuatan berlebihan dalam istinsyaq ketika puasa ditegaskan oleh Nabi kerana ianya boleh menyebabkan batalnya puasa. Ulama seperti al-Imam Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin berpendapat berlebihan dalam hal istinsyaq dan berkumur-kumur bagi yang berpuasa hukumnya makruh. (Majmu' al-Fatawa Ibni Baz 15/261, Asy Syarh al-Mumti' 6/379 dan 407)

Menelan titisan as-Sa'uth yang masuk ke kerongkongan juga termasuk dalam hal ini. As-Sa'uth adalah ubat yang dititiskan melalui hidung (gurah). Barangsiapa melakukan gurah lalu merasakan titisan as-Sa'uth itu masuk ke kerongkongannya dan ia pun menelannya dengan sengaja, puasanya batal. Ini adalah fatwa mazhab al-Imam Malik dan juga al-Imam Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin.

Menghirup asap wangi pedupaan (bakhour) termasuk dalam hal ini. Asap wangi pedupaan adalah sesuatu yang terlihat zatnya (berwujud). Oleh kerana itu, akan membatalkan puasa jika dihirup kerana sama dengan menelan suatu zat hingga masuk ke perut. Yang tidak dibenarkan adalah menghirupnya dengan sengaja. Ini difatwakan oleh al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai Ibnu Baz.

7 Mendapatkan suntikan ketika puasa.

Suntikan memasukkan suatu zat melalui jarum suntik ke otot atau urat. Hal ini terbahagi menjadi dua jenis:

Ada yang bersifat sebagai sumber zat-zat makanan dan minuman bergizi serta penguat bagi tubuh, iaitu suntikan infus (cairan makanan). Suntikan ini membatalkan puasa kerana memiliki fungsi dan kedudukan yang sama dengan makan dan minum.

Ada pula yang bersifat suntikan biasa yang tidak bersifat sebagai nutrisi tubuh yang menguatkannya, iaitu suntikan ubat atau vitamin. Suntikan ini tidak membatalkan puasa. Inilah yang difatwakan oleh al-Imam al-Albani, Ibnu Baz, al-Lajnah ad-Da'imah dan Ibnu Utsaimin.

Hal-hal yang tidak termasuk dalam kategori makan dan minum yang membatalkan puasa:

1: Menelan ludah dan air liur. Ludah dan air liur diproduksi di mulut sehingga menelannya tidak mungkin dihindari. Pendapat ini dipilih al-Imam Ibnu Utsaimin.

2: Menelan debu jalanan. Hal ini tidak mungkin dihindari. Lihat kitab al-Mughni 4/354.

3: Merasai makanan/minuman tanpa menelannya. Hal ini makruh hukumnya bagi yang tidak berkepentingan untuk melakukannya. Adapun yang berkepentingan, tidak mengapa melakukannya, seperti seorang yang sedang memasak atau yang hendak membeli satu jenis makanan/minuman.

Ibnu Abbas berkata, "Tidak mengapa bagi orang yang berpuasa untuk merasai madu, mentega dan semisalnya, lalu memuntahkannya." (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi. Al-Albani menghasankannya)

4: Menggunakan siwak. Al-Imam Ibnu Taimiyah berkata pada kitab Majmu' al-Fatawa, "Bersiwak (ketika berpuasa) diperbolehkan tanpa ada perbezaan pendapat. Akan tetapi mereka berbeza pendapat mengenai makruh atau tidaknya bersiwak setelah waktu zawal (bergesernya matahari ke ufuk barat). Ada dua pendapat yang masyhur, keduanya merupakan riwayat dari al-Imam Ahmad. Akan tetapi tidak ada dalil dalam syariat yang menunjukkan makruhnya bersiwak ketika puasa setelah waktu zawal..." Pendapat ini dipilih oleh al-Imam Ibnul Qoyyim, al-Albani dan Ibnu Utsaimin.

5: Menggunakan pasta (ubat) gigi. Al-Imam Ibnu Baz dalam Fatawa Muhimmah Tata'allaq bish-Shiyam berkata, "Membersihakan dengan sikat (berus) yang menggunakan pasta (ubat) gigi tidak membatalkan puasa, sebagaimana halnya menggunakan siwak..."

6: Mandi bagi orang yang berpuasa diperbolehkan dan tidak membatalkan puasa disertai kehati-hatian agar tidak menelan air mandi melalui mulut dan hidung. Ini adalah pendapat jumhur ulama yang dipilih oleh al-Imam Ibnu Taimiyah, asy-Syaukani, al-Lajnah ad-Da'imah dan Ibnu Utsaimin.

"(Demi Allah), sungguh aku telah melihat Rasulullah di 'Arj menyiramkan air di atas kepalanya kerana kehausan atau tersengat panas matahari." (HR Malik dan Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani dalam Tahqiq al-Misykat)

7: Memakai celak mata yang rasanya sampai ke kerongkongan hingga tertelan. Hal ini tidak mengapa dan tidak membatalkan puasa. Sebab mata bukan organ yang dianggap sebagai saluran masuknya makanan dan minuman (mulut dan hidung).

8: Memakai titis mata dan titis telinga yang rasanya sampai ke kerongkongan hingga tertelan. Hal ini tidak mengapa dan tidak membatalkan puasa. Sebab mata dan telinga bukan organ yang dianggap sebagai saluran masuknya makanan dan minuman (mulut dan hidung).

9: Penggunaan minyak yang dioleskan di kulit atau rambut tidak mengapa dan tidak membatalkan puasa. Hal ini adalah sesuatu yang umum dilakukan oleh kaum muslimin di masa Rasulullah.

Bau-bauan berupa wewangian dan selainnya yang hanya mengeluarkan bau, tidak mengeluarkan zat yang terlihat yang akan terhirup dan tertelan. Sifat seperti ini tidak membatalkan puasa. Ini difatwakan oleh al-Imam Ibnu Taimiyah, al-Lajnah ad-Da'imah dan Ibnu Utsaimin.

Rincian Pembatal Puasa Dari Jenis Jima'

Jima' adalah tindakan memasukkan hasyafah (kepala zakar) ke dalam qubul (kemaluan) wanita, baik berakhir dengan terjadinya ejakulasi (memancarkan air mani) mahupun tidak.

Jima' di sini meliputi jima' yang halal dengan isteri atau budak (hamba) wanita yang dimiliki mahupun jima' yang haram dengan zina -wal 'iyadzu billah-. Para ulama juga menyatakan bahawa memasukkan hasyafah ke dubur termasuk dalam cakupan makna jima'.

Ulama berbeza pandangan dalam hal kedudukan puasa bagi orang yang menyengaja untuk ejakulasi dengan cara onani, mencium, memeluk atau sejenisnya.

1: Pendapat empat imam mazhab yang disebutkan oleh penulis (as-Sa'di) bahawa hal itu haram dan membatalkan puasa. Pendapat ini dipilih al-Imam Ibnu Taimiyah, al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin. Dalilnya adalah penyamaan dengan jima' secara qiyas berdasarkan hadits qudsi bahawa Allah telah menyatakan tentang orang yang berpuasa:

"Ia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya kerana Aku." (Muttafaq 'alaih)

2: Pendapat al-Imam Ibnu Hazm bahawa hal itu tidak membatalkan puasa. Pendapat ini dipilih oleh al-Imam ash-Shan'ani dan al-Albani. Alasannya tidak ada dalil yang menunjukkan batalnya puasa dengan sebab itu. Adapun dalil qiyas yang disebutkan tidak boleh diterima kerana terdapat perbezaan antara keduanya. Perbezaannya adalah kerana jima' tanpa disertai ejakulasi tetap membatalkan puasa. Ertinya, illat (sebab) batalnya puasa adalah jima' itu sendiri, bukan ejakulasi.

Tampaknya, pendapat pertama lebih kuat.

Onani

Definisi onani menurut para ulama adalah upaya mengeluarkan mani dengan cara apa pun (selain jima'), baik menggunakan tangan mahupun lainnya.

Menurut pendapat yang rajih (terkuat), ejakulasi dengan onani sendiri membatalkan puasa, sebagaimana telah dibahaskan.


Mencium isteri atau hamba wanita yang dimiliki, memeluk atau sejenisnya

Perkara ini adalah sesuatu yang halal ketika seseorang tidak berpuasa. Adapun hukum melakukannya ketika berpuasa, terjadi perbezaan pendapat di antara ulama.

Pendapat terkuat adalah yang mengatakan hal itu boleh sebagai rukhsah (keringanan) dari Allah bagi hamba-hambaNya. Hanya saja, disarankan agar tidak dilakukan oleh orang yang tidak mampu mengekang syahwatnya kerana dikhawatirkan terdorong melakukan jima'.

Aisyah berkata, "Rasulullah pernah mencium (isterinya) dalam keadaan baginda sedang berpuasa dan memeluk (isterinya) dalam keadaan baginda sedang berpuasa. Akan tetapi, baginda adalah orang yang paling mampu menguasai syahwatnya di antara kalian." (Muttafaq 'alaih)

Rincian Pembatal Puasa Yang Diperselisihkan


1: Muntah Dengan Sengaja. 
Ulama berselisih dalam hal ini:

Pendapat pertama, muntah dengan sengaja membatalkan puasa. Ini disebutkan oleh penulis (as-Sa'di), dan ini adalah pendapat jumhur ulama dan Ibnu Hazm. Pendapat ini dipilih Ibnu Taimiyah, ash-Shan'ani, asy-Syaukani, Ibnu Baz, dan al-Utsaimin.

"Barangsiapa terpaksa muntah, ia tidak berkewajipan melakukan qadha puasa. Barangsiapa muntah dengan sengaja, hendaklah ia melakukan qadha puasa." (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainya. Hadits ini diperselisihkan oleh ulama tentang kesahihannya)

Pendapat kedua, muntah dengan sengaja tidak membatalkan puasa selama tidak ada dari muntahan tersebut yang ditelan kembali secara sengaja. Adapun jika ada dari muntahan itu yang ditelan kembali secara sengaja, ini ertinya ia telah memakan sesuatu yang membatalkan puasa. Ini pendapat Ibnu Mas'ud, 'Ikrimah, Rabi'ah ar-Ra'yi dan ulama lainnya.

Adapun muntah dengan tidak sengaja, tidak membatalkan puasa tanpa diragukan lagi.

2: Berbekam
Terjadi perbezaan pendapat di kalangan ulama apakah berbekam membatalkan puasa atau tidak:

Pendapat pertama, orang yang membekam dan yang dibekam keduanya batal puasanya. Berdasarkan dalil:

"Orang yang membekam dan orang yang dibekam batal puasanya." (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa'i, Ibnu Majah. Disahihkan oleh al-Albani dan al-Wadi'i)

Yang menjadi illat (sebab) sehingga berbekam dianggap sebagai pembatal puasa diperselisihkan oleh ulama:

Sebahagian berpendapat berbekam sebagai pembatal puasa adalah perkara ibadah mahdhah (ibadah murni), iaitu semata-mata merupakan ketentuan ibadah yang tidak diketahui illatnya (sebabnya). Jadi orang yang membekam pun tetap batal puasanya meskipun menggunakan alat khusus tanpa bantuan mulut dalam menyedut darah kotor dari tubuh pesakit.

Ibnu Taimiyah dan Ibnu Utsaimin berpendapat ini bukan perkara ibadah mahdhah, melainkan perkara yang diketahui illatnya. Sebab batalnya puasa orang dibekam adalah kerana darahnya telah disedut yang mengakibat badannya lemah. Adapun illat batalnya puasa orang yang membekam adalah kerana biasanya ia menyedut darah bekam dengan mulutnya melalui tabung bekam sehingga darah itu boleh jadi tertelan tanpa disedari.

Pendapat kedua, berbekam tidak membatalkan puasa. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti al-Imam Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi'i. Pendapat ini dipilih oleh asy-Syaukani dan al-Albani. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan lafaz:

"Nabi pernah berbekam dalam keadaan berihram (ketika berhaji) dan baginda pernah berbekam dalam keadaan berpuasa." 

Dan juga hadits Anas, ia berkata, "Awal mula diharamkannya berbekam bagi orang yang berpuasa adalah (peristiwa) Ja'far bin Abi Thalib berbekam dalam keadaan berpuasa, lalu Nabi melewatinya dan berkata, 'Puasa kedua orang ini telah batal.' Selanjutnya Nabi memberikan keringanan setelah itu untuk berbekam bagi orang yang berpuasa. Adalah Anas pernah berbekam dalam keadaan berpuasa." (HR ad-Daraquthni dan al-Baihaqi, ad-Daraquthni mengatakan "seluruh periwayatannya berderajat tsiqah (terpercaya) dan aku tidak mengetahui ada 'illah (cacat) pada hadits ini." Hal ini dipersetujui oleh al-Baihaqi dan al-Albani)

Akan tetapi, ulama dengan pendapat ini, berbeza pandangan pula dalam penetapan hukumnya:
▫️Ada yang menyatakan bahawa berbekam hukumnya makruh, berdasarkan gabungan hadits-hadits yang ada. Ini adalah pendapat al-Imam Malik dan asy-Syafi'i.

Ada pula yang menyatakan bahawa berbekam dibolehkan dan tidak makruh, kerana hadits tentang batalnya puasa orang yang membekam dan yang dibekam mansukh (telah dihapus hukumnya). Ini adalah pendapat al-Imam Abu Hanifah, Ibnu Hazm dan al-Albani.

Al-Imam asy-Syaukani merinci masalah ini dengan berkata, "Hadits-hadits yang ada dipadukan maknanya bahawa berbekam hukumnya makruh bagi orang yang akan melemah kerananya, dan semakin bertambah makruh jika keadaan lemah akibat berbekam menjadi sebab batalnya puasa. Adapun bagi orang yang tidak menjadi lemah kerananya, hukumnya tidak makruh. Walaupun begitu, menghindari berbekam bagi orang yang berpuasa adalah lebih baik."

Kesimpulannya, yang benar adalah pendapat yang menyatakan berbekam tidak membatalkan puasa, kerana hukumnya sebagai pembatal puasa telah mansukh (dihapus). Meskipun demikian, pendapat yang menyatakan makruh untuk berbekam bagi orang yang akan melemah kerananya, memiliki sisi pandangan yang benar. Terlebih lagi jika keadaan lemah akibat berbekam sampai pada tahap menjadi sebab batalnya puasa. Oleh itu, rincian dari al-Imam asy-Syaukani lebih memuaskan. Wallahu'alam.

(Faedah dari Kitab Manhajus Salikin wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din -Kitab ash-Shiyam-, karya Al-Imam Abdurrahman as-Sa'di, disyarah al-Ustadz Muhammad as-Sarbini, diterbitkan Oase Media)

WhatsApp طريق السلف 
www.thoriqussalaf.com
telegram: http://bit.ly/thoriqussalaf

Sumber :  http://www.happyislam.com/2016/05/silsilah-fikih-puasa-lengkap.html
Diarsipkan oleh www.happyislam.com 
Publikasi : AhlusSunnahSintangKalbar.BlogSpot.Com
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wasallam bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.”
(HR. al-Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 48)

Jangan Memberikan Komentar Jika Foto Anda Menggunakan Gambar Makhluk Atau Komentar Anda Mengandung Unsur Smiley !