SHOLAT GERHANA
Hukum Shalat Gerhana
Shalat kusuf (gerhana) disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dan mencontohkannya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat kusuf:
- Kebanyakan ulama berpandangan bahwa hukumnya adalah sunnah muakaddah (yang ditekankan).
- Ulama yang lain berpendapat bahwa shalat kusuf hukumnya wajib.
Ini yang dikuatkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah. Beliau menyebutkan bahwa ini juga pendapat Ibnu Khuzaimah, Abu Awanah, dan dipilih oleh asy- Syaukani rahimahullah serta Shiddiq Hasan Khan.
Tata Cara Shalat Gerhana
Berikut ini beberapa hal terkait dengan tata cara shalat gerhana.
- Sebab shalat ini adalah terlihatnya gerhana.
Shalat ini terkait dengan terlihatnya
gerhana. Oleh karena itu, apabila gerhana tidak dapat dilihat, tidak
disyariatkan padanya shalat. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan shalat gerhana ini dengan “melihat”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“Apabila kalian melihatnya, berdoalah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.”
Jika di suatu daerah gerhana terlihat, disyariatkan bagi penduduk tempat itu untuk melakukan shalat kusuf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan bahwa apabila ahli hisab bersepakat tentang terjadinya
gerhana, kesepakatan mereka hampir-hampir tidak akan salah. Akan tetapi,
kesepakatan mereka itu tidak berkonsekuensi adanya suatu ilmu
(pengetahuan) yang syar’i. Sebab, shalat kusuf dan khusuf tidak
dilakukan kecuali apabila gerhana itu terlihat.
Berdasarkan hal ini, apabila terjadi
gerhana namun seseorang terlambat mendapat beritanya dan waktunya telah
lewat, tidak disyariatkan baginya melakukan shalat gerhana karena
waktunya telah berlalu. Ini yang dijelaskan oleh asy-Syaikh Shalih
al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya, al-Mulakhkhash al-Fiqhi.
- Panggilan untuk shalat gerhana
Tidak ada azan dan iqamah untuk shalat gerhana. Yang ada ialah panggilan, “Ash-shalatu jami’ah.”
Hal ini sebagaimana riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma yang mengatakan, “Ketika terjadi gerhana matahari (pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), diserukan, ‘Ash-shalatu jami’ah’.”
- Pelaksanaan shalat gerhana
Shalat gerhana dilaksanakan dua rakaat.
Perbedaannya dengan shalat yang lain, setiap rakaat shalat gerhana
terdapat dua rukuk. Jadi, dua rakaat shalat gerhana memiliki empat
rukuk.
Rincian cara shalatnya adalah seperti
tata cara shalat biasa. Hanya saja, setelah membaca surat kemudian rukuk
dan bangkit dari rukuk, membaca sami’allahu liman hamidah, rabbana walakal hamdu (sebagaimana hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang muttafaqun alaih), dilanjutkan membaca al-Fatihah dan surat lagi.
Disyariatkan berdiri dan rukuk pertama
lebih lama daripada yang kedua. Setelah selesai bacaan kedua, dia rukuk
kembali, bangkit, membaca sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, dan i’tidal. Setelah itu dilanjutkan sebagaimana biasa. Demikian pula pada rakaat kedua.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait pelaksanaan shalat gerhana.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat gerhana dengan bacaan yang panjang.
Nabi memperpanjang bacaan tersebut
sampai hilang gerhana itu. Meski demikian, untuk bacaan yang panjang
seperti itu, perlu memerhatikan keadaan makmum. Wallahu a’lam.
Seandainya shalat telah selesai
sementara gerhana belum hilang, perbanyaklah membaca zikir, tahlil, dan
zikir sejenisnya. Bisa pula diulangi kembali shalatnya, sebagaimana
penjelasan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan dalam kitabnya, al-Mulakhkhash al-Fiqhi.
- Bacaan pada shalat gerhana dilakukan dengan suara keras (jahr) meski pada siang hari.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang melakukan shalat karena gerhana matahari. Begitu pula pada malam
hari ketika terjadi gerhana bulan, bacaan shalat gerhana dilakukan
dengan jahr (keras).
- Shalat gerhana dilakukan secara berjamaah di masjid.
Tentu saja hal ini juga boleh dilakukan oleh jamaah wanita. Di masa para sahabat, kaum wanita mengikuti shalat gerhana.
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari mengatakan, “Jika imam rawatib tidak datang, salah seorang yang hadir menjadi imam.”
Apabila tidak ada seorang pun yang bisa
diajak berjamaah, dia diperbolehkan melakukan shalat gerhana sendirian.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan dalam
kitabnya, al-Mulakhkhash al-Fiqhi.
- Shalat gerhana dilakukan kapan saja saat terjadi gerhana.
Shalat gerhana boleh dilakukan meski di akhir siang atau di akhir malam, asalkan saat itu terjadi gerhana.
- Setelah shalat, disyariatkan berkhutbah.
Hukumnya sunnah, tidak wajib. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya dan matahari telah terang (gerhana telah usai). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan menyanjung Allah subhanahu wa ta’ala seraya berkata, ‘Matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala. Tidaklah keduanya mengalami gerhana karena kematian seseorang, tidak pula karena kelahiran seseorang. Jika kalian melihat gerhana, berdoalah, bertakbirlah, shalatlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan bersedekahlah.’
Kemudian beliau mengatakan, ‘Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah subhanahu wa ta’ala ketika seorang lakilaki atau perempuan berzina. Wahai umat Muhammad, seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, tentu kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat tiba-tiba beliau maju seolah-olah mengambil sesuatu, dan
tiba-tiba mundur seolah-olah takut dari satu hal yang mengerikan.
Sebagian sahabat bertanya tentang apa yang terjadi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya
aku melihat surga. Aku berusaha mengambil sekumpulan anggur. Seandainya
aku dapat mengambilnya, kalian akan terus makan darinya selama dunia
masih ada. Sungguh, aku juga melihat neraka. Aku tidak pernah melihat
sebuah pemandangan yang lebih mengerikan daripada yang aku lihat hari
ini. Aku melihat ternyata kebanyakan penghuninya adalah para perempuan.”
Para sahabat radhiallahu ‘anhum bertanya, “Apa sebabnya wahai Rasulullah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Karena mereka kufur.”
Para sahabat radhiallahu ‘anhum bertanya, “Apakah kufur terhadap Allah subhanahu wa ta’ala?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, tetapi mereka kufur (tidak berterima kasih) terhadap (kebaikan) para suami mereka. Kufur terhadap kebaikan. Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang mereka sepanjang tahun, lantas dia melihat sesuatu yang tidak dia sukai, dia akan berkata, “Aku tidak pernah melihat pada dirimu kebaikan sama sekali.” ( HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari hadits di atas.
- Khutbah ini menyatakan batilnya apa yang diyakini oleh orang jahiliah bahwa gerhana adalah tanda kematian atau kelahiran orang yang besar. Pada saat itu, putra Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal. Orang mengira, gerhana terjadi karena sebab tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menepis anggapan jahiliah ini.
- Gerhana adalah salah satu tanda kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala hendak memberikan rasa takut dengan keduanya terhadap para hamba-Nya. Sungguh, orang yang berpikir tentang kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala dalam mengatur alam ini, akan memiliki rasa takut yang besar.
Dalam sebagian riwayat disebutkan, ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
khawatir terjadi kiamat. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa
meski gerhana adalah peristiwa alam, seorang muslim hendaknya tidak
hanya memandangnya sebagai peristiwa alam biasa yang teratur.
Seorang muslim memandang bahwa hal itu merupakan tanda kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala dan kemampuan-Nya yang mengatur matahari dan bulan, sehingga jadilah malam dan siang. Jika Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak menjadikan semuanya sebagai waktu siang, Dia Maha mampu melakukannya. Demikian pula sebaliknya. Selain itu Allah subhanahu wa ta’ala Maha mampu memanjangkan waktu siang dan memendekkannya, memanjangkan waktu malam dan memendekkannya.
Dengan adanya gerhana seorang muslim
mesti berpikir tentang kebesaran Allah tersebut dan tumbuh dalam dirinya
rasa takut apabila Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengembalikan matahari atau bulan sebagaimana mestinya.
- Khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan beberapa maksiat, di antaranya perzinaan. Tampak dari sini—wallahu a’lam— bahwa gerhana berkaitan dengan peringatan Allah subhanahu wa ta’ala atas berbagai maksiat yang terjadi. Apabila kita lihat pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selama sekian tahun di Madinah gerhana terjadi hanya satu kali.
Pada masa kita ini, kemungkinan terjadi
gerhana berkali-kali. Seorang muslim hendaknya berpikir bahwa gerhana
tersebut adalah peringatan agar para hamba-Nya takut kepada-Nya atas
kemaksiatan yang terjadi.
Pada masa ini kemaksiatan begitu merajalela, terlebih yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbahnya, yaitu zina. Oleh karena itu, takutlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala Maha mampu mengubah aturan alam apabila Dia berkehendak.
Bisa jadi, ada yang menyatakan bahwa
gerhana ini hanyalah kejadian alam. Kita katakan, betul bahwa itu adalah
kejadian alam. Akan tetapi, alam ini ada Dzat yang mengatur
sekehendak-Nya.
Pada kesempatan ini, pembaca rahimakumullah,
kita mengingatkan sebagian orang yang menganggap melihat gerhana
sebagai hiburan. Kita dapati sebagian orang justru menikmati gerhana dan
tidak melakukan shalat gerhana yang disyariatkan. Demikian pula mereka
tidak takut, padahal inilah yang diinginkan oleh syariat saat terjadi gerhana. Rasa takut tersebut menjadikan seseorang bertambah ketaatannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hendaknya kaum muslimin menyadari hal ini dan kembali kepada petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya memperbanyak amalan saleh, yaitu doa, shalat, dan sedekah saat terjadi gerhana.
- Kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita. Hal ini disebabkan mereka tidak mensyukuri nikmat, tidak mau berterima kasih kepada suami. Ketika muncul rasa marah, seakan-akan kebaikan suami tidak pernah ada. Suara pun diangkat melebihi suara suami, atau hal lain yang merupakan sikap yang tidak dibenarkan oleh syariat. Hal ini sangat berbahaya dan menjadi sebab kebanyakan wanita menjadi penduduk neraka.
Apabila Tertinggal Satu Rukuk
Satu rakaat dalam shalat gerhana ada dua
kali rukuk. Apabila tertinggal satu rukuk, dia harus menambah satu
rakaat lagi. Demikian yang dijelaskan oleh asy-Syaikh Muhammad Bazmul hafizhahullah dalam kitab Bughyatul Mutathawwi’ fi Shalati at-Tathawwu’.
Demikian pembahasan yang bisa kami
sampaikan tentang shalat gerhana. Semoga bermanfaat. Apabila ada
kekurangan, kami memohon maaf sebesar-besarnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
oleh :
al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
Sumber : http://asysyariah.com/tata-cara-shalat-gerhana/
Publikasi : ahlussunnahsintangkalbar.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar
Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wasallam bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.”
(HR. al-Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 48)
Jangan Memberikan Komentar Jika Foto Anda Menggunakan Gambar Makhluk Atau Komentar Anda Mengandung Unsur Smiley !