USAHA, DOA, SEBAB DAN TAKDIR
Ditulis oleh: Al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai
Usaha, Bagian dari Takdir
Usaha adalah bagian dari takdir. Tidak ada
kontradiksi antara usaha dan takdir. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
as-Sa’di rahimahullah berkata, “Jika pengejar akhirat mengetahui bahwa
akhirat tidak akan digapai melainkan dengan keimanan, amal saleh, dan
meninggalkan lawannya (amal buruk), ia akan bersemangat dan
bersungguh-sungguh merealisasikan keimanan dan memperbanyak wujud-wujud
keimanan yang terperinci. Ia akan bersungguh-sungguh melakukan amalan
saleh yang akan mengantarkan dirinya menuju akhirat. Sisi yang lain, ia
akan meninggalkan kekufuran dan kemaksiatan. Ia akan segera bertaubat
jika terjatuh dalam dosa.
Jika pemilik ladang mengetahui bahwa hasil
kerjanya tidak akan berhasil melainkan dengan menanam dan mengairinya
disertai dengan pengawasan ketat, ia akan bersemangat dan
bersungguh-sungguh melakukan segala cara untuk menumbuhkan tanamannya,
memaksimalkannya, dan mencegah hama penyakit.
Jika pelaku produksi mengetahui bahwa
hasil-hasil produksi, dengan berbagai ragam jenis dan manfaatnya, tidak
akan berhasil didapatnya melainkan dengan mempelajari disiplin ilmu
produksi dan menguasainya, lalu mempraktikkannya, ia akan berusaha dan
bersungguh-sungguh.
Barang siapa mengharapkan keturunan atau membiakkan hewan ternaknya, tentu ia akan bekerja dan berusaha. Demikianlah pada seluruh urusan.” (ar-Riyadh an-Nadhirah, as-Sa’di, hlm. 125—126)
Barang siapa mengharapkan keturunan atau membiakkan hewan ternaknya, tentu ia akan bekerja dan berusaha. Demikianlah pada seluruh urusan.” (ar-Riyadh an-Nadhirah, as-Sa’di, hlm. 125—126)
Adapun dalil yang menjelaskan wajibnya si hamba berusaha sangat banyak. Antara lain:
1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, riwayat Muslim (4/2025).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ
إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ، احْرِصْ
عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ
أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا؛
وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ؛ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ
عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih
dicintai oleh Allah dibandingkan mukmin yang lemah, dan masing-masing
mempunyai kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk hal yang bermanfaat
untukmu. Mohonlah pertolongan dari Allah dan jangan merasa lemah. Jika
ada sesuatu menimpa dirimu, jangan ucapkan, ‘Andai saja saya melakukan
begini, tentu akan menjadi begini dan begitu.’ Namun ucapkanlah, ‘Telah
ditakdirkan Allah, apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki, Dia pasti melakukannya.’ Sesungguhnya ucapan ‘andai saja’, akan membuka amalan setan.”
2. Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, riwayat al-Bukhari (10/179) dan Muslim (4/1740).
Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah
berangkat menuju Syam. Setibanya di wilayah Sargh, beliau disambut oleh
para panglima perang, Abu Ubaidah bin al-Jarrah beserta sahabat-sahabat
lainnya. Mereka menyampaikan berita kepada Umar bahwa di negeri Syam
sedang terjangkiti satu wabah. Umar lalu memerintahkan untuk mengundang
para sahabat dalam rangka bermusyawarah. Mulai dari kalangan Muhajirin,
lalu kalangan Anshar, kemudian kaum Quraisy. Dari musyawarah tersebut,
Umar memutuskan untuk kembali pulang.
Lalu Umar Radhiyallahu ‘anhu mengumumkan, “Sesungguhnya aku akan kembali besok pagi, bersiap-siaplah besok.” Abu Ubaidah bin al-Jarrah Radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Apakah untuk lari dari takdir Allah?” Umar menjawab,
لَوْ غَيْرُكَ قَالَهَا، يَا أَبَا
عُبَيْدَةَ نَعَمْ، نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللهِ إِلَى قَدَرِ اللهِ،
أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَتْ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ
إِحْدَاهُمَا خَصْبَةٌ وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ، أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ
الْخَصْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ
رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ؟
“Andai saja bukan kamu yang mengatakannya, wahai Abu Ubaidah. Ya, kita lari dari takdir Allah Subhanahu wa ta’ala menuju takdir Allah Subhanahu wa ta’ala yang
lain. Apa pendapatmu, jika engkau mempunyai ternak unta lalu singgah di
sebuah lembah yang memiliki dua sisi. Satu sisi yang subur, sisi yang
lain gersang. Bukankah dengan takdir Allah juga jika engkau
menggiringnya ke sisi yang subur? Bukankah dengan takdir Allah juga
engkau menggiringnya ke sisi yang gersang?”
Setelah itu, datanglah Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu yang
sebelumnya tidak hadir karena ada keperluan. Ia berkata, “Sesungguhnya
aku memiliki ilmu tentang masalah ini. Aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Jika kalian mendengar terjadi wabah di suatu daerah, janganlah
mendatanginya. Jika kalian berada di suatu daerah yang sedang
terjangkiti wabah, janganlah meninggalkannya untuk lari’.”
Umar pun memuji Allah Subhanahu wa ta’ala, lalu bertolak (kembali ke Madinah).
Umar pun memuji Allah Subhanahu wa ta’ala, lalu bertolak (kembali ke Madinah).
Orang Cerdas
Orang yang benar-benar cerdas akan berusaha
menghindari takdir dengan takdir juga, menghadapi takdir dengan takdir
pula. Tidak akan mungkin kita menjalani kehidupan melainkan dengan cara
ini. Rasa lapar dan haus, kedinginan, seluruh hal yang menakutkan dan
membahayakan, adalah takdir. Seluruh makhluk berusaha untuk terhindar
dari hal tersebut dengan takdir juga.
Demikianlah kondisi hamba yang memperoleh
taufik dan petunjuk. Ia pasti berusaha untuk terhindar dari “takdir”
siksa di akhirat dengan “takdir” taubat, iman, dan amal saleh. (ad-Da’u
wad Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm. 27)
Perlu diingat, yang mengatakan, “Allah Subhanahu wa ta’ala telah
mencatat takdir makhluk, lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan
langit dan bumi,” beliau juga yang mengatakan, “Beramallah, karena
masing-masing akan dimudahkan untuk apa yang diciptakan untuknya.”
Lalu:“Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Al-Kitab dan ingkar
terhadap sebagian yang lain?” (al-Baqarah: 85)(al-Iman bil Qadha, Muhammad bin Ibrahim, hlm. 127—129)
Doa, Bagian dari Takdir
Soal: Sesuatu
yang dimohon dalam doa, jika memang telah ditakdirkan untuk terjadi,
pasti terjadi. Sama saja, apakah si hamba berdoa ataukah tidak. Jika
memang sudah ditakdirkan untuk tidak terjadi, tidak akan mungkin akan
terjadi, baik si hamba memohon maupun tidak.
Jawab:
Sekelompok orang memandang benar pernyataan
di atas. Mereka kemudian tidak ingin berdoa dan mengatakan, “Tidak ada
manfaatnya berdoa!”
Mereka sendiri, dengan kejahilan dan kesesatan, pasti akan mengalami kontradiksi. Menerima pendapat mereka sama saja menghilangkan seluruh bentuk sebab. Coba saja ditanyakan kepada salah seorang dari mereka, “Jika kenyang dan puas dari dahaga memang telah ditakdirkan untukmu, pasti terjadi, apakah engkau makan ataukah tidak? Jika memang sudah ditakdirkan untuk tidak kenyang, tidak akan mungkin terjadi, apakah engkau makan ataukah tidak?”
Mereka sendiri, dengan kejahilan dan kesesatan, pasti akan mengalami kontradiksi. Menerima pendapat mereka sama saja menghilangkan seluruh bentuk sebab. Coba saja ditanyakan kepada salah seorang dari mereka, “Jika kenyang dan puas dari dahaga memang telah ditakdirkan untukmu, pasti terjadi, apakah engkau makan ataukah tidak? Jika memang sudah ditakdirkan untuk tidak kenyang, tidak akan mungkin terjadi, apakah engkau makan ataukah tidak?”
“Jika memang telah ditakdirkan engkau
memiliki anak, pasti terjadi baik engkau berhubungan badan dengan istri
maupun tidak. Jika memang sudah ditakdirkan engkau tidak memiliki anak,
pasti tidak akan terjadi. Lalu, apa guna menikah?” Demikian juga hal-hal
yang lain.
Pertanyaannya, “Apakah hal di atas akan diucapkan oleh seseorang yang berakal? Seorang manusia? Bahkan, hewan ternak sekalipun memiliki fitrah untuk melakukan ‘sebab’ untuk mempertahankan hidupnya. Dengan demikian, hewan lebih berakal dan lebih bisa memahami dibandingkan dengan kelompok ini. Mereka layaknya hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya.”
Pertanyaannya, “Apakah hal di atas akan diucapkan oleh seseorang yang berakal? Seorang manusia? Bahkan, hewan ternak sekalipun memiliki fitrah untuk melakukan ‘sebab’ untuk mempertahankan hidupnya. Dengan demikian, hewan lebih berakal dan lebih bisa memahami dibandingkan dengan kelompok ini. Mereka layaknya hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya.”
Ada kelompok lain, sedikit lebih pandai daripada kelompok pertama. Mereka berpendapat, “Berdoa adalah ibadah murni. Allah Subhanahu wa ta’ala akan
memberikan pahala bagi hamba yang mau berdoa. Berdoa tidak memiliki
pengaruh terhadap apa yang diminta, dari sisi mana pun.”
Menurut mereka, berdoa atau tidak adalah
sama saja, tidak akan memberikan pengaruh terhadap apa yang diminta.
Hubungan doa dan terjadinya keinginan, menurut mereka, sama dengan
hubungan diam dengan terjadinya keinginan.
Ada kelompok lain yang berpendapat, “Doa hanyalah murni pertanda, yang ditetapkan Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai
tanda terpenuhinya keinginan. Barang siapa diberi taufik untuk berdoa,
hal itu sebagai tanda bahwa keinginannya telah terpenuhi.” Sama halnya
dengan awan hitam pekat di musim penghujan yang menjadi tanda bahwa
hujan akan turun. Dengan demikian, ketaatan hanyalah pertanda adanya
pahala, bukan sebab. Kekufuran dan maksiat hanyalah pertanda siksa,
bukan sebab.
Masih menurut kelompok ini, tindakan
memecahkan bukanlah “sebab” pecah, tindakan membakar bukan juga “sebab”
kebakaran, dan melakukan perbuatan membunuh bukanlah “sebab” kematian.
Hanya sebatas pertanda saja.
Pendapat semacam ini berseberangan dengan
akal dan daya indra, bertentangan dengan syariat dan fitrah, serta
berhadapan dengan segenap pemikir. Orang berakal juga menertawakan
mereka.
Yang benar, sesuatu yang ditakdirkan Allah Subhanahu wa ta’ala juga
memiliki “sebab-sebab” yang juga ditakdirkan. Berdoa termasuk “sebab”
sehingga segala sesuatu tidak hanya ditakdirkan tanpa adanya “sebab”.
Akan tetapi, ia ditakdirkan beserta “sebabnya”. Pada saat si hamba
melaksanakan “sebab”, apa yang ditakdirkan akan terjadi. Namun, jika ia
tidak melaksanakan “sebab”, yang ditakdirkan pun tidak terjadi.
Hal ini sama dengan kenyang yang
ditakdirkan terjadi dengan sebab makan, puas dari dahaga dengan sebab
minum, memiliki anak dengan sebab berhubungan badan, menuai panen dengan
sebab menanam benih, dan matinya hewan dengan sebab disembelih.
Demikian juga, masuk ke dalam surga ditakdirkan dengan melakukan amalan
saleh, dan masuk ke dalam neraka dengan sebab melakukan kejahatan.
Kesimpulannya, berdoa termasuk “sebab” terbesar. Jika sesuatu yang ditakdirkan dapat terjadi dengan “sebab” doa, tidaklah benar untuk dinyatakan, “Tidak ada manfaatnya berdoa!” Sebagaimana tidak dapat dibenarkan untuk mengatakan, “Tidak ada manfaatnya makan dan minum. Tidak ada gunanya seluruh aktivitas dan perbuatan.”
Kesimpulannya, berdoa termasuk “sebab” terbesar. Jika sesuatu yang ditakdirkan dapat terjadi dengan “sebab” doa, tidaklah benar untuk dinyatakan, “Tidak ada manfaatnya berdoa!” Sebagaimana tidak dapat dibenarkan untuk mengatakan, “Tidak ada manfaatnya makan dan minum. Tidak ada gunanya seluruh aktivitas dan perbuatan.”
Tidak ada “sebab” lain yang melebihi
manfaat doa. Tidak pula ada “sebab” lain yang melebihi doa dalam hal
mewujudkan keinginan. Oleh karena itu, para sahabat—sebagai generasi
yang paling mengenal Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya
serta generasi yang paling mengerti tentang agama—sangat kuat mewujudkan
doa sebagai “sebab”, syarat-syarat dan adabnya, jika dibandingkan
dengan orang lain.
Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu selalu memohon pertolongan dengan berdoa ketika menghadapi musuh. Doa merupakan bala tentaranya yang terbesar. Beliau Radhiyallahu ‘anhu sering
mengingatkan pasukannya, “Sesungguhnya kalian tidak memperoleh
kemenangan dengan jumlah yang banyak. Akan tetapi, kalian mendapat
kemenangan hanyalah dengan pertolongan dari langit.”
Beliau juga sering menyampaikan,
“Sesungguhnya aku tidak meragukan tentang dikabulkannya doa, namun aku
khawatir hilangnya keinginan untuk berdoa. Apabila kalian mendapatkan
kemudahan untuk berdoa, sesungguhnya dikabulkannya doa selalu mengiringi
doa.”
Barang siapa memperoleh jalan untuk berdoa, doa itu akan dikabulkan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Barang siapa memperoleh jalan untuk berdoa, doa itu akan dikabulkan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Dan Rabbmu berfirman, “Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang
yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam
dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186) (ad-Da’u wad Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm. 22—24)
Asy-Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin
rahimahullah pernah ditanya, “Apakah doa memiliki pengaruh mengubah
catatan takdir manusia yang telah ada sebelum ia diciptakan?”
Beliau menjawab, “Tidak diragukan lagi, doa
dapat memberikan pengaruh untuk mengubah catatan takdirnya. Namun,
perubahan itu pun telah tercatat juga sebagai takdir dengan sebab doa.
Jangan mengira, jika Anda berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala berarti
Anda telah meminta sesuatu yang tidak tercatat sebagai takdir! Doa juga
telah tercatat sebagai takdir. Demikian juga hasil dari doa tersebut
telah tercatat sebagai takdir.
Oleh sebab itu, kita menyaksikan ada orang
yang membacakan doa untuk orang sakit, kemudian sembuh. Kisah pasukan
perang yang ditugaskan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah
dalil akan hal ini. Mereka singgah untuk bertamu di sebuah kampung,
namun mereka tidak dijamu sebagai tamu. Lalu, ditakdirkan kepala kampung
tersebut digigit oleh ular berbisa. Kemudian mereka memohon orang yang
dapat membacakan doa untuk si kepala kampung. Akan tetapi, para sahabat
mengajukan syarat, yaitu upah untuk melakukannya. Mereka lalu
menyerahkan sekawanan kambing. Salah seorang sahabat lantas berangkat
untuk membacakan al-Fatihah. Setelah itu, si sakit langsung berdiri
seolah-olah ia baru saja lepas dari ikatan. Maksudnya, seperti seekor
unta yang terlepas tali kekangnya. Benar, bacaan sahabat tersebut
memiliki pengaruh untuk kesembuhan si sakit.
Kesimpulannya, doa memang memiliki
pengaruh, namun tidak mengubah takdir. Perubahan tersebut pun termasuk
bagian dari takdir, yang terjadi dengan sebuah “sebab” yang juga telah
ditakdirkan. Demikian juga seluruh “sebab”, ia memiliki pengaruh pada
“akibat” dengan izin Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu,
“sebab” adalah takdir yang tercatat, “akibat” pun takdir yang tercatat.
(Fatawa Aqidah, Fahd bin Nashir, hlm. 234)
Keterikatan serta Keterkaitan Takdir dan Sebab
Takdir tidak berbenturan dengan sebab yang syar’i dan qadari. Hal ini karena “sebab” termasuk takdir Allah Subhanahu wa ta’ala. Mengaitkan dan mengikatkan antara sebab dan akibat adalah konsekuensi dari hikmah-Nya, sebagai sifat Allah Subhanahu wa ta’ala yang paling tinggi, yaitu sifat yang ditetapkan sendiri oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk diri-Nya pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an.
Contoh sebab qadari adalah firman-Nya:
“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu
angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut
yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal. Lalu kamu
lihat hujan keluar dari celah-celahnya. Maka apabila hujan itu turun
mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi
gembira. Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka
benar-benar telah berputus asa. Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat
Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya
(Rabb yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa)
menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu.” (ar-Rum: 48—50)
Contoh sebab syar’i adalah firman-Nya:
“Wahai ahli kitab, sesungguhnya telah
datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi
Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang
menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula)
Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
lurus.” (al-Maidah: 15—16)
Seluruh bentuk perbuatan yang ditentukan balasannya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala,
baik pahala maupun siksa, termasuk sebab syar’i, jika dilihat dari sisi
bahwa seorang hamba dituntut untuk melaksanakannya. Juga dapat
dikatakan sebagai sebab qadari, jika dilihat dari aspek terjadinya
berdasarkan takdir dan qadha dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Cara Pandang Manusia Terhadap Sebab
Terkait dengan posisi “sebab”, ada tiga cara pandang yang muncul di permukaan.
1. Kelompok nufat (pengingkar).
Mereka mengingkari pengaruh dan peran
“sebab”. Mereka menyatakan, “Sebab hanyalah sebatas tanda yang ada pada
saat terjadinya sesuatu, bukan sebagai penyebabnya.” Mereka berpendapat,
“Pecahnya kaca yang dilempar batu terjadi ketika batu mengenai kaca,
bukan disebabkan oleh lemparan batu.”
Kelompok ini menyelisihi dalil dan menentang daya indra. Mereka telah mengingkari hikmah Allah Subhanahu wa ta’ala yang menghubungkan antara sebab dan akibat.
2. Kelompok ghulat (berlebihan).
Mereka menetapkan pengaruh dan peran
“sebab”, namun meyakininya secara berlebihan. Mereka menyatakan, “sebab”
dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya tanpa kehendak Allah.
Kelompok ini tergelincir dan terjatuh dalam
dosa kesyirikan. Dengan keyakinan ini, mereka menetapkan adanya
“pencipta” selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Pendapat ini juga berseberangan dengan dalil dan daya indra.
Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ menerangkan bahwa tidak ada pencipta selain Allah Subhanahu wa ta’ala.
Secara kenyataan, kita juga menyaksikan
dengan jelas, kadang-kadang terjadi “sebab” namun tidak muncul
“akibat”nya, seizin Allah Subhanahu wa ta’ala tentunya. Contohnya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang tidak terbakar ketika dilemparkan ke dalam kobaran api. Api pun menjadi dingin dan keselamatan, beliau tidak terbakar.
3. Kelompok wasath (berada pada kebenaran).
Mereka memperoleh petunjuk yang lurus
kepada kebenaran. Mereka berada pada posisi di antara kedua kelompok
sebelumnya. Mereka mengambil sisi kebenaran dari dua kelompok
sebelumnya. Mereka menyatakan, “sebab” memang memiliki pengaruh dan
peran pada “akibat”, namun tidak secara sendirinya. Hal itu terjadi
dengan kekuatan dan kemampuan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada “sebab” tersebut.
Kelompok ini adalah kelompok yang adil.
Mereka diberi taufik pada kebenaran dengan memadukan antara dalil, akal,
dan daya indra. Sebagaimana halnya takdir tidak berbenturan dengan
sebab syar’i dan qadari, demikian juga takdir tidak berbenturan dengan
kehendak dan kemampuan yang dimiliki oleh seorang hamba untuk melakukan
perbuatan. Jadi, setiap makhluk memiliki kehendak dan kemampuan. Ia
sendiri yang berbuat. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Di antaramu ada orang yang menghendaki
dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian
Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya
Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang
dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 152)
“Dan sesungguhnya kalau mereka
melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah yang
demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).” (an-Nisa’: 66)
“Barang siapa mengerjakan amal yang
saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat
jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah
Rabbmu menganiaya hamba-hamba(Nya).” (Fushshilat: 46)
“Dan berangkatlah mereka di pagi hari
dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu
(menolongnya).” (al-Qalam: 25)
Akan tetapi, sebagai makhluk ia tidak dapat berdiri dan terpisah secara sendirian dalam kehendak, kemampuan, dan perbuatannya. Sama halnya, “sebab” tidak dapat berdiri sendiri dalam menghasilkan “akibat”. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Akan tetapi, sebagai makhluk ia tidak dapat berdiri dan terpisah secara sendirian dalam kehendak, kemampuan, dan perbuatannya. Sama halnya, “sebab” tidak dapat berdiri sendiri dalam menghasilkan “akibat”. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang
mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) melainkan jika dikehendaki Allah, Rabb semesta
alam.” (at-Takwir: 28—29)
Kehendak, kemampuan, dan perbuatan adalah
sifat yang melekat pada makhluk. Oleh karena itu, kehendak, kemampuan,
dan perbuatannya pun adalah makhluk juga. Hal ini karena sifat mengikuti
yang disifati. Maka dari itu, Dzat yang menciptakan makhluk, Dia pula
yang menciptakan sifat makhluk. (Taqrib at-Tadmuriyah, Ibnu ‘Utsaimin,
hlm. 105—107)
4. Contoh Perpaduan Antara Takdir dan Kehendak Hamba
Penjelasannya demikian; jika seorang hamba
menegakkan shalat, berpuasa, dan melakukan kebajikan, atau ia berbuat
kemaksiatan, dialah pelaku kebajikan atau kemaksiatan tersebut.
Perbuatannya, tanpa setitik keraguan, terjadi berdasarkan pilihan dan
keinginannya sendiri. Secara pasti, ia merasakan dirinya tidak “dipaksa”
untuk melakukan atau tidak melakukannya. Ia pun meyakini dengan pasti,
jika mau, ia tidak akan melakukannya.
Sebagaimana penjelasan di atas merupakan kenyataan bahwa seperti itulah yang dinashkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam
Al-Qur’an dan oleh Rasul-Nya dalam sunnahnya. Dalam Al-Qur’an dan
as-Sunnah, amalan kebaikan dan keburukan yang diperbuat oleh hamba
dinisbahkan dan dilekatkan pada diri hamba itu sendiri. Allah Subhanahu wa ta’ala dan
Rasul-Nya juga memberitakan, merekalah pelaku perbuatan itu
sesungguhnya. Mereka akan memperoleh pujian dan pahala jika yang
diperbuat kebaikan. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan celaan dan siksa
jika yang diperbuat keburukan.
Maka dari itu, telah jelas dan terang,
tanpa ada keraguan, seluruh perbuatan hamba dilakukan oleh mereka
sendiri, dengan pilihan mereka sendiri. Jika mau, mereka lakukan. Jika
mau, mereka tinggalkan. Hal ini dapat dibuktikan secara akal, daya
indra, syariat, dan kenyataan. (Tanbihat al-Lathifah, as-Sa’di, hlm.
82—83)
Secara akal, tidaklah mungkin Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan
siksa atas si hamba karena perbuatan yang ia “dipaksa” melakukannya.
Kalau bukan karena pilihan dan kehendak si hamba sendiri, tidak mungkin
ia terbebani syariat.
Secara daya indra, si hamba merasakan
sendiri pada dirinya secara pasti, ia tidak dalam keadaan “dipaksa”
untuk berbuat atau tidak berbuat.
Secara syariat, banyak ayat dan hadits yang menyandarkan perbuatan itu kepada si hamba. Di antaranya adalah:
Secara syariat, banyak ayat dan hadits yang menyandarkan perbuatan itu kepada si hamba. Di antaranya adalah:
“Pada hari itu manusia keluar dari
kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada
mereka (balasan) atas amalan mereka.” (az-Zalzalah: 6)
Secara kenyataan, kita menyaksikan sendiri
bahwa orang yang mengerjakan shalat, puasa, dan lainnya adalah si hamba,
bukan Rabb. Maka dari itu, hambalah yang secara hakiki langsung
berbuat. (Ta’liqat Yasin ‘alal Wasithiyyah, hlm. 231)
————————————————-
0 komentar:
Posting Komentar
Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wasallam bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.”
(HR. al-Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 48)
Jangan Memberikan Komentar Jika Foto Anda Menggunakan Gambar Makhluk Atau Komentar Anda Mengandung Unsur Smiley !