Berikut ini rekaman Tausiyah Al Ustadz Luqman Ba’abduh hafidzahullah tema “Nasehat utk Bpk Din Syamsuddin Ramadhan 1434H”
http://statics3.ilm0e.com/file/2013/07/14/radio-darussalaf/nasehat-utk-bpk-din-syamsuddin-1434h.mp3
dan dibawah ini artikel terkait pembahasan tersebut:
AWAS BAHAYA AQIDAH KHAWARIJ
Suatu yang patut disyukuri, Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Agama diberi taufiq setiap tahunnya untuk menerapkan rukyatul hilal di sekian pos observasi hilal yang tersebar di berbagai penjuru di nusantara, guna menetapkan awal dan akhir Ramadhan.
Untuk tahun ini, Kementerian Agama menetapkan 1 Ramadhan 1434 Hijriah jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013. “Keputusan ini dibuat berdasarkan pengamatan hilal dan rukyat di seluruh Indonesia,” kata Menteri Agama, dalam sidang itsbat penetapan 1 Ramadan 1434 Hijriah di kantor Kementerian Agama, Senin, 8 Juli 2013
Keputusan tersebut, selaras dengan keputusan mayoritas negeri-negeri lainnya. Antara lain,
- Qatar, Arab Saudi, dan Mesir
- Umat Islam Afrika Utara dan Afrika Barat
- Kuwait, Irak dan Yaman
- Tunisia dan Libya
- Singapura, Malaysia, Brunei Darus Salam dan Australia
Negeri-negeri tersebut memutuskan hari Rabu sebagai awal
Ramadhan 1434 H. Keputusan itu diambil setelah hilal awal Ramadhan 1434 H
tidak terlihat di masing-masing negara tersebut.
Namun sayang, salah satu Ormas Islam di negeri ini,
menentang keputusan tersebut. Bahkan lebih dari itu, berani lancang
menyatakan keluar dari ketaatan kepada ulil amri. Ketua Umum PP
Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsudin menyatakan Kementerian Agama tak
pantas dianggap sebagai ulil amri lantaran melakukan korupsi.
“Kalau kementerian agama dianggap sebagai ulil amri dan harus ditaati, mohon maaf sajalah, masa kita harus taat pada kementerian yang korup, Al-Qur’an pun mau dikorupsi. Itu tidak memenuhi syarat sebagai ulil amri. Bahkan ada hadits; janganlah mentaati manusia yang melakukan maksiat kepada Allah,” tegasnya. Senin, 08 Jul 2013.
Sungguh sangat kita sayangkan ucapan yang muncul dari Ketua Umum salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini tersebut. Ucapan yang mengarah kepada aqidah dan cara-cara Khawarij,
yaitu menyatakan keluar dari ketaatan kepada pemerintah yang dinilai
telah banyak melakukan kezhaliman, kemaksiatan, dan berbagai kemungkaran
lainnya. Jelas ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah!
Memang kita tidak menutup mata adanya kezhaliman,
kemungkaran, dan korup pada pemerintah kita. Namun dalam prinsip aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah hal tersebut tidak berarti kemudian
merekomendasi untuk keluar dari ketaatan kepada ulil amri
(pemerintah). Tentu kita semua mengharapkan pemerintah yang adil. Kita
senantiasa mendoakan pemerintah Indonesia agar berjalan di atas
bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah, menghilangkan berbagai korupsi,
kezhaliman, dan kemungkaran yang terjadi. Termasuk dalam hal ini
kementrian agama. Ketaatan kita kepada pemerintah yang zhalim dan korup
tidak berarti kita ridho terhadap kezhaliman dan kekorupannya. Namun
pengingkaran kita terhadap berbagai kemungkaran pada pemerintah tersebut
tidak berarti kita keluar dari ketaatan kepadanya.
PRINSIP AHLUS SUNNAH TERKAIT DENGAN KETAATAN KEPADA ULIL AMRI (Pemerintah Islam)
1. Ahlus Sunnah berkeyakinan wajibnya mentaati ulil amri. Berdasarkan :
- Firman Allah Ta’ala :
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم} [النساء: 59]
“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’ : 59)
- Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
«اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ»
“Dengar dan taatilah (ulil amri), meskipun yang diangkat adalah seorang budak habasyi seakan-akan kepalanya adalah biji anggur.” (HR. Al-Bukhari 693)
«أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا»
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dan mendengar dan taat (kepada ulil amri), meskipun (yang menjadi ulil amri) adalah seorang budak habasyi.” (HR. Abu Dawud 4607, At-Tirmidzi 2676)
2. Ketaatan Kepada ulil amri tersebut wajib, baik dalam perkara yang kita sukai ataupun dalam perkara yang kita benci, selama ulil amri tersebut masih muslim
«أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي
مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا،
وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا
بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ»
“Kami berbaiat (kepada Rasulullah) untuk mendengar dan
mentaati (ulil amri), baik dalam kondisi kami senang atau benci, baik
dalam kondisi lapang maupun sulit, dan walaupun mereka menghalangi
hak-hak kami. Dan kami berbaiat untuk tidak mencabut kepemimpinan
tersebut dari orang yang memegangnya, kecuali jika kalian melihat
(mendapati) kekufuran yang nyata (pada ulil amri tersebut) yang kalian
memiliki bukti dari Allah tentang kekufurannya.” (Al-Bukhari 7056, Muslim 1079)
3. Ketaatan kepada ulil amri tersebut wajib, baik ulil amri itu adil maupun zhalim/banyak melakukan kemungkaran.
«إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا
تُنْكِرُونَهَا» قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ:
«أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ، وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ»
“Sesungguhnya kalian akan melihat sepeninggalku atsarah (yakni korup) dan berbagai perkara yang kalian mengingkarinya.” Wahai Rasulullah kalau begitu apa yang engkau perintahkan kepada kami? Rasulullah menjawab, “Tunaikanlah kepada mereka (ulil amri) hak mereka (yakni taatilah mereka), dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (Al-Bukhari 7052, Muslim 1843).
Menjelaskan hadits di atas, an-Nawawi rahimahullah mengatakan,
“berita ini merupakan salah satu mukjizat kenabian. Berita
ini telah terjadi berulang-ulang, dan peristiwa tersebut didapati
berkali-kali. Pada hadits tersebut terdapat dorongan untuk tetap
mendengar dan mentaati (ulil amri) meskipun ulil amri-nya adalah seorang yang zhalim dan sangat lalim. Maka ulil amri tersebut
tetap wajib ditunaikan haknya, yaitu ketaatan kepadanya, tidak
memberontak terhadapnya dan tidak melepaskan (ketaatan) kepadanya. Namun
(yang semestinya dilakukan adalah) memohon kepada Allah dalam
menghilangkan gangguannya (kezhalimannya), mencegah kejelekannya, dan
memperbaikinya.” (lihat Syarh Muslim no. 1843)
Lebih tegas lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggambarkan kezhaliman ulil amri, namun demikian tetap wajib mentaatinya, yaitu dalam hadits berikut,
«يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا
يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ
قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ» ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ
أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ
وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ،
فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»
“Akan ada sepeninggalku para pemimpin yang tidak
mengambil petunjukku dan tidak mengambil sunnahku. Dan akan muncul di
tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam
wujud manusia.” Aku bertanya, “Apa yang harus aku perbuat apabila aku mendapati itu?” Rasulullah menjawab, “Tetaplah
engkau mendengar dan mentaati pimpinan meskipun dia memukul punggungmu
dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat!!” (Muslim 1847)
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Pada hadits ini
terdapat dalil untuk senantiasa konsisten bersama pemerintah muslimin
dan pimpinannya, serta kewajiban mentaati mereka meskipun mereka berbuat
fasik dan melakukan kemaksiatan berupa merampas harta dan yang lainnya.
Maka wajib mentaati mereka dalam perkara selain maksiat.”
4. Tidak Boleh Taat kepada ulil amri ketika diperintah kepada Kemaksiatan
«السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا
أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ
بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ»
“Wajib untuk mendengar dan mentaati (ulil amri) atas
seorang muslim, baik dalam perkara yang ia sukai atau ia benci, selama
ia tidak diperintah dengan kemaksiatan. Apabila diperintah untuk
bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (Al-Bukhari 7144).
Yakni tidak mentaati perintah berbuat maksiat tersebut.
Bukan berarti kemudian keluar dari ketaatan kepada ulil amri secara
total, atau menentang dan memberontak kepadanya. Tidak demikian. Karena
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan,
«مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ،
فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ، إِلَّا
مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
“Barangsiapa mendapat pada pimpinannya sesuatu
(kemungkaran/kemungkaran) sehingga diapun membencinya, maka hendaknya
dia bersabar (yakni tidak keluar dari ketaatan). Karena tidaklah
seorangpun berpisah dari jama’ah (kaum muslimin) walaupun sejengkal
saja, kemudian dia mati, kecuali matinya adalah kematian jahiliyyah.” (al-Bukhari 7143)
5. Apabila terjadi kemungkaran pada ulil amri,
maka rakyat menasehatinya secara rahasia. Bukan menentangnya, atau
memprotesnya di atas mimbar, atau berdemo, atau bahkan memberontaknya.
Hal ini sebagaimana bimbingan baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“مَنْ أَرَاَد أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ
عَلاَنِيَّةً، وَلَكِن يَأْخُذُ بِيَدِهِ، فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ
مِنْهُ فَذَلِكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيهِ”
“Barangsiapa yang hendak menasehati seorang yang
memiliki kekuasaan, maka janganlah menyampaikannya secara
terang-terangan. Namun hendaknya dia mengambil tangannya, dan menyendiri
dengannya. Apabila ia (penguasa tersebut) mau menerima (nasehat)
darinya maka itulah (yang diharapkan). Apabila tidak, maka dia telah
melaksanakan kewajibannya (untuk menasehati penguasa).” (Ibnu Abi ‘Ashim hal. 508).
MENGKRITISI UCAPAN PAK DIN SYAMSUDDIN
Setelah kita membaca keterangan di atas, maka kita bandingkan dengan ucapan pimpinan ormas Islam di atas,
“Kalau Kementerian Agama dianggap sebagai ulil amri dan harus ditaati, mohon maaf sajalah, masa kita harus taat pada Kementerian yang korup. Al-Qur’an pun mau dikorupsi. Itu tidak memenuhi syarat sebagai ulil amri. Bahkan ada hadits: ‘Janganlah mentaati manusia yang melakukan maksiat kepada Allah,”
- Perhatikan ucapan di atas. ["masa kita harus taat pada Kementerian yang korup"] memang kita tidak menutup mata adanya korup dan kemungkaran pada pemerintah Indonesia. Maka kita wajib mengingkari kemungkaran-kemungkaran tersebut. Namun bukan berarti kita menyatakan keluar dari ketaatan kepada ulil amri (pemerintah). Karena selama pemerintah masih muslim, maka ketaatan kepada mereka tetap wajib.
- ["Itu tidak memenuhi syarat sebagai ulil amri."] Tidak demikian wahai Pak Din Syamsuddin. Memang benar korup merupakan tindak kemaksiatan. Namun kemaksiatan tersebut tidak berarti membuat status sebagai ulil amri gugur. Tidak demikian. Perhatikan sekali lagi hadits-hadits di atas.
- Bahkan lebih para lagi, Din Syamsuddin mengatakan, ["Kalau ulil amri itu menurut pemahaman kami, ulil amri itu bukan pemerintah tetapi yang mempunyai otoritas masing-masing,"] maka ini merupakan pemahaman yang menyimpang dari prinsip Ahlus Sunnah.
- ["Bahkan ada hadits: 'Janganlah mentaati manusia yang melakukan maksiat kepada Allah".] Memang kita tidak boleh mentaati pemerintah yang memerintahkan kita untuk bermaksiat, namun tidak berarti menyatakan keluar dari ketaatan kepadanya secara total. Sikap tidak taat kita kepada salah satu perintah yang bersifat maksiat itu bukan kemudian merekomendasi kita untuk keluar dari ketaatan dari ulil amri secara total atau membolehkan kita untu menentang ulil amri secara provokatif dan demonstratif, yang demikian justru akan memperkeruh suasana dan melemahkan stabiltas keamanan.
Kemudian kita bertanya kepada bapak Din Syamsudin, “Kemaksiatan apakah yang diperintahkan kepadamu oleh ulil amri?”
Konteks permasalahan sehingga menyebabkan munculnya pernyataan Din di atas adalah permasalah polemik rukyah – hisab.
“Sidang isbat itu artinya penetapan, tapi dengan pendekatan sepihak, yang namanya rukyat, sementara yang menggunakan perhitungan (hisab) tidak dianggap, jadi tidak ada gunanya,” kata Din Syamsudin.
Ketika ulil amri meminta anda (dan ormas yang anda
pimpin) untuk menghadiri sidang itsbat penetapan awal Ramadhan
berdasarkan rukyah, apakah anda diperintah oleh ulil amri untuk bermaksiat? Ataukah itu adalah perintah untuk ketaatan, yaitu melaksanakan rukyatul hilal yang itu selaras dengan bimbingan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Tentu saja jawabannya: perintah tersebut adalah perintah ketaatan.
Kemudian, bukankah cara hisab yang selama ini anda serukan
dan pertahankan, itu merupakan kemungkaran dan bid’ah yang jelas-jelas
bertentangan dengan perintah baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Permasalahan ini telah kami jelaskan dalam tulisan kami berjudul “Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan dengan Ru’yatul Hilal atau Hisab Falaki?”)
Cara hisab yang anda serukan di samping merupakan
kemungkaran dan bid’ah, juga merupakan sebab yang melanggengkan
perpecahan umat, terkhusus dalam penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fitri.
Maka sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, bahwa Umat Islam tidak akan bersatu dalam masalah Ramadhan dan Idul Fitri kecuali dengan dua hal,
Pertama, meninggalkan hisab falaki
Kedua, komitmen pada cara ru`yatul hilal dan istikmal.
Demikian tulisan singkat ini. Semoga bisa menjadi nasehat
Sumber
http://almanshurohcilacap.com/audio/nasehat-utk-bpk-din-syamsuddin
0 komentar:
Posting Komentar
Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wasallam bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.”
(HR. al-Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 48)
Jangan Memberikan Komentar Jika Foto Anda Menggunakan Gambar Makhluk Atau Komentar Anda Mengandung Unsur Smiley !